Rabu, 03 Oktober 2012

HUKUM & KEADILAN



A. Pendahuluan

HUKUM DAN KEADILAN MENJADI MAINAN

Apa sesungguhnya yang dimaksud dengan "kembali pada hukum, keadilan dan kemanusiaan (back to law, justice and humanity). Apa maksudnya, karena tidak ada lagi hukum, keadilan dan rasa kemanusiaan di Indonesia? Apa proses hukum yang berintikan keadilan sudah jauh menyimpang dari keadilan dan kemanusiaan?
Atau karena ikut-ikutan latah saja, dikaitkan dengan ungkapan back to basic dan ada lagi back to nature? Atau mungkin ada alasan lain untuk menunjukkan, bahwa dalam proses peradilan dan penegakan hukum di Indonesia tidak ada yang "kebal hukum", siapa pun harus diperiksa "tanpa pandang bulu" termasuk "setan gundul" dan tidak perlu takut pada backing-backing-nya?
Atau mungkin ada sebab-sebab lain, seperti pelecehan terhadap lembaga peradilan? Apakah kondisi hukum dan keadilan di Indonesia sudah sedemikian ruwet semrawutnya seperti benang-benang kusut, semakin dibenahi semakin kisut? Atau karena aparat penegak hukum, tidak berhasil mengejar para pelaku tindak pidana korupsi, ibarat sulitnya mengejar layang-layang yang putus benangnya?
Dalam kehidupan kita sehari-hari memang sering terdengar orang berkeluh kesah, bagaimana mungkin keadilan dapat ditegakkan di negeri kita, kalau seorang pencuri ayam dihukum berat, sedangkan seorang koruptor yang merugikan negara hanya dihukum ringan saja?"Di mana letak keadilannya?"
Masyarakat kita pada umumnya sangat sederhana dalam pola pikirnya, terutama dalam masyarakat adat yang hanya mampu mengucapkan kalimat yang singkat saja, yaitu nyuwun adil (minta keadilan). Bahkan mitos yang pernah berkembang dan pernah kita dengar di masyarakat adalah "kapan datangnya ratu adil". Itu menunjukkan bahwa keadilan adalah sesuatu yang bersifat mendasar dalam kehidupan seorang manusia dan karena itu pula masalah yang juga paling mendasar ialah bagaimana "ukuran keadilan" itu sendiri.
Persoalan ini sudah berkembang sejak munculnya ilmu-ilmu sosial, dan sampai sekarang masih terus diperdebatkan orang. Karena itu ada yang beranggapan, bahwa ukuran keadilan itu "subyektif" dan "relatif". "Subyektif", karena ditentukan oleh manusia yangmempunyai wewenang memutuskan itu tidak mungkinmemiliki kesempurnaan yang absolut. "Relatif", karena bagi seseorang dirasakan sudah adil, namun bagi orang lain dirasakan sama sekali tidak adil.
Bangsa Indonesia tetap memandang keadilan dan norma-norma kemanusiaan yang adil dan beradab sebagai sesuatu yang luhur dan suci, yang dapat memberi ketentraman dan ketenangan lahir dan batin, karena keadilan memang merupakan kepentingan utama dalam
kehidupan manusia. Karena itu dapat dimengerti, apabila terdapat perbedaan dalam melihat takaran atau ukuran keadilan.
Memang ada bermacam-macam teori dan pandangan mengenai hukum dan keadilan yang dapat kita pelajari, namun pertanyaan praktis yang timbul adalah: Apakah anggota masyarakat yang meminta keadilan mendapat perlakuan dan pelayanan secara wajar oleh polisi, jaksa dan hakim? Apakah polisi, jaksa dan hakim melayani anggota masyarakat tersebut secara jujur dan tidak memihak? Apakah proses penangkapan, penahanan, penyidikan sampai pemeriksaan di pengadilan tidak menyimpang dari asas praduga tidak bersalah dan perlindungan hak asasi manusia? Apakah proses tersebut tetap berada pada bingkai atau pigura hukum?  
Koridor menurut tatabahasa artinya suatu lorong yang menghubungkan gedung yang satu dengan yang lain. Lorong tidak selalu lurus dan terang, tapi ada kalanya berbelok-belok yang ujungnya gelap, tidak kelihatan transparan. Kelakar sementara orang, jangan-jangan prosesnya menjadi  “UDU-45" (Ujung-ujungnya duit, dikasih 4 minta 5). Keadilan pada hakekatnya merupakan perasaan yang luhur yang tidak bisa diperoleh melalui pembelian uang atau nilai kebendaan lainnya.
Oleh karena itu apabila ada orang yang membeli keadilan melalui uang atau menjual keadilan, langsung saja perasaan kita tersinggung. Nurani kita tergores. Dan, jika ini terjadi secara alamiah akan terjadi perlawanan dalam kalbu kita. Para penegak hukum haruslebih tanggap dan cekatan dalam menangani rasa keadilan masyarakat. Kendati demikian, kita tidak boleh menutup mata, bahwa proses penegakan keadilan belum lagi sepenuhnya berjalan sesuai dengan harapan kita. Itu terbukti dari masih adanya kejadian-kejadian yang merusak citra keadilan, seperti masih adanya perbuatan yang tercela dari beberapa hakim. Padahal jabatan hakim adalah jabatan yang tidak mungkin dapat dilakukan oleh siapa saja, melainkan hanya oleh orang-orang yang amat terpilih saja.
Di antara jabatan duniawi yang disebut secara terbatas di dalam Kitab Suci, adalah hakim dan karena itu tidak jauh dari maksud Kitab Suci, bahwa peradilan itu dilaksanakan "Demi Keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa." Para hakim juga sadar, bahwa berbagai ragam cobaan dan godaan akan selalu menghadang mereka yang akan mencoba mempengaruhi keteguhan imannya, dengan antara lain mau menerima imbalan sesuatu.
Apabila hal tersebut terjadi, maka putusan keadilan yang diucapkan, adalah keadilan semu dan keadilan yang tidak adil, karena didasarkan atas imbalan materi, dan tidak didasarkan atas keyakinan terhadap salah atau tidaknya seseorang. Martabat hakim akan jatuh di mata para pencari keadilan, baik karena para hakim mau menerima sesuatu malahan meminta sesuatu, ataupun karena tidak dapat mengendalikan diri dalam memimpin persidangan.
Menegakkan keadilan dan kebenaran atas dasar imbalan tertentu, sesungguhnya merupakan pekerjaan yang bersifat nista dan tidak layak dilakukan oleh seorang hakim. Itulah sebabnya dalam pertemuan CGI di Jakartabulan November 2001, ditekankan perlunya segera dilaksanakan program reformasi di sektor peradilan. Dalam salah satu presentasi bahkan diungkapkan bahwa 75 % penduduk Indonesia berpendapat sektor peradilan adalah sektor yang korup.
Ada ungkapan yang berbunyi, What this country needs is not more judges, but more judgment. Itulah sebabnya mengapa penegakan hukum merupakan upaya menumbuhkan dan menegakkan keadilan dalam ukuran obyektif dengan alur pikir yang rasional. Jauh dari rasa emosional, apalagi irasional, tidak berdasarkan akal yang sehat, malahan berkesan akal-akalan.
Mantan Hakim Agung Johansyah mengakui terkadang terdapat inkonsistensi putusan di Mahkamah Agung karena kelemahan administrasi dan banyaknya penafsiran hukum untuk kasus yang berbeda tapi jenis perkara yang sama.
Beban-beban kemasyarakatan dan kenyataan-kenyataan dalam masyarakat akibat perubahan dan perkembangan masyarakat dewasa ini khususnya di bidang hukum dan keadilan, perlu diimbangi dengan sikap tanggap untuk lebih memantapkan prinsip "kembali pada hukum, keadilan dan kemanusiaan."

Ø  B. Pernyataan masalah

Inkonsistensi Penegaka Hukum di Indonesia
Salah satu fungsi hukum adalah alat penyelesaian sengketa atau konflik, disamping fungsi yang lain sebagaialat pengendalian sosial dan alat rekayasa sosial. Pembicaraan tentang hukum barulah dimulai jikaterjadi suatu konflik antara dua pihak yang kemudian diselesaikan dengan bantuan pihak ketiga.Dalamhal ini munculnya hukum berkaitan dengan suatu bentuk penyelesaian konflik yang bersifatnetral dan tidak memihak.
Pelaksanaan hukum di Indonesia sering dilihat dalam kacamata yang berbeda oleh masyarakat. Hukum sebagai dewa penolong bagi mereka yang diuntungkan, dan hukum sebagai hantu bagi mereka yang dirugikan. Hukum yang seharusnya bersifat netral bagi setiap pencari keadilan atau bagi setiap pihak yang sedang mengalami konflik, seringkali bersifat diskriminatif , memihak kepada yang kuat dan berkuasa.
Seiring dengan runtuhnya rezim Soeharto pada tahun 1998, masyarakat yang  tertindas oleh hukum bergerak mencari keadilan yang seharusnya mereka peroleh sejak dahulu. Namun kadang usaha mereka dilakukan tidak melalui jalur hukum. Misalnya penyerobotan tanah di Tapos dan di daerah-daerah persengketaan tanah yang lain, konflik perburuhan yang mengakibatkan perusakan di sejumlah pabrik, dan sebagainya.
Pengembalian kepercayaan masyarakat terhadap hukum sebagai alat penyelesaian konflik dirasakan perlunya untuk mewujudkan ketertiban masyarakat Indonesia, yang oleh karena euphoria “reformasi” menjadi tidak terkendali dan cenderung menyelesaikan masalah dengan caranya sendiri.
Permasalahan Hukum
Permasalahan hukum di Indonesia terjadi karena beberapa hal, baik dari sistem peradilannya, perangkat hukumnya, inkonsistensi penegakan hukum, intervensi kekuasaan, maupun perlindungan hukum . Diantara banyaknya permasalahan tersebut, satu hal yang sering dilihat dan dirasakan oleh masyarakat awam adalah adanya inkonsistensi penegakan hukum olehaparat.Inkonsistensipenegakan hukum ini kadang melibatkan masyarakat itu sendiri, keluarga, maupun lingkungan terdekatnya yang lain (tetangga, teman, dan sebagainya). Namun inkonsistensi penegakan hukum ini sering pula mereka temui dalam media elektronik maupun cetak, yang menyangkut tokoh-tokoh masyarakat (pejabat,
orang kaya, dan sebagainya).Inkonsistensi penegakan hukum ini berlangsung dari hari ke hari, baik dalam peristiwa yang berskala kecil maupun besar.  Peristiwa kecil bisa terjadi pada saat berkendaraan di jalan raya. Masyarakat dapat melihat bagaimana suatu peraturan lalu lintas (misalnya aturan three-in-one  di beberapa ruas jalan di Jakarta) tidak berlaku bagi anggota TNI dan POLRI. Polisi yang bertugas membiarkan begitu saja mobil dinas TNI yang melintas meski mobil tersebut berpenumpang kurang dari tiga orang dan kadang malah disertai pemberian hormat apabila kebetulan penumpangnya berpangkat lebih tinggi.
Contoh peristiwa  klasik yang menjadi bacaan umum sehari-hari adalah : koruptor kelas kakap dibebaskan dari dakwaan karena kurangnya bukti, sementara pencuri ayam bisa terkena hukuman tiga bulan penjara karena adanya bukti nyata. Tumbangnya rezim Soeharto tahun 1998 ternyata tidak disertai dengan reformasi di bidang hukum. Ketimpangan dan putusan hukum yang tidak menyentuh rasa keadilan masyarakat tetap terasakan dari hari ke hari.

Beberapa Kasus Inkonsistensi Penegakan Hukum di Indonesia
Kasus-kasus inkonsistensi penegakan hukum di Indonesia terjadi karena beberapa hal. Penulis mengelompokkannya berdasarkan beberapa alasan yang banyak ditemui oleh masyarakat awam, baik melalui pengalaman pencari keadilan itu sendiri, maupun peristiwa lain yang bisa diikuti melalui media cetak dan elektronik

1.      Tingkat Kekayaan Seseorang
Salah satu keputusan kontroversial yang terjadi pada bulan Februari ini adalah jatuhnya putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus) terhadap terpidana kasus korupsi proyek pemetaan dan pemotretan areal hutan antara Departemen Hutan dan PT Mapindo Parama, Mohammad “Bob” Hasan. PN Jakpus menjatuhkan hukuman dua tahun penjara potong masa tahanan dan menetapkan terpidana tetap dalam status tahanan rumah. Putusan ini menimbulkan rasa ketidakadilan masyarakat, karena untuk kasus korupsi yang merugikan negara puluhan milyar rupiah, Bob Hasan yang sudah berstatus terpidana hanya dijatuhi hukuman tahanan rumah. Proses pengadilan pun relatif berjalan dengan cepat. Demikian pula yang terjadi dengan kasus Bank Bali, BLBI (Bantuan Likuiditas Bank Indonesia), kasus Texmaco, dan kasus-kasus korupsi milyaran rupiah lainnya.
Dibandingkan dengan kasus pencurian kecil, perampokan bersenjata, korupsi yang merugikannegara “hanya” sekian puluh juta rupiah, putusan kasus Bob Hasan sama sekali tidak sebanding. Masyarakat dengan mudah melihat bahwa kekayaanlah yang  menyebabkan Bob Hasan lolos dari hukuman penjara. Kemampuannya menyewa pengacara tangguh
dengan tarif mahal yang dapat mementahkan dakwaan kejaksaan, hanya dimiliki oleh orang-orang dengan tingkat kekayaan tinggi.Kita bisa membandingkan dengan kasus Tasiran yang memperjuangkan tanah garapannya sejak tahun 1985 . Tasiran, seorang petani sederhana, yang terlibat konflik tanah seluas 1000 meter persegi warisan ayahnya, dijatuhi hukumankurungan tiga bulan dengan masa percobaan enam bulan pada tanggal 2 April 1986, karena terbukti mencangkuli tanah sengketa. Karena mengulang perbuatannya pada masa percobaan, Tasirankembali masuk penjara pada bulan Agustus 1986. Sekeluarnya dari penjara, Tasiran berkelana mencari keadilan dengan mondar-mandir Bojonegoro-Jakarta lebih dari 100 kali dengan mendatangi Mahkamah Agung, Mabes Polri, Kejaksaan Agung, Mabes Polri, DPR/MPR, Bina Graha, Istana Merdeka, dan sebagainya. Pada tahun 1996 ia kembali memperoleh keputusan yang mengalahkan dirinya.

.2. Tingkat Jabatan Seseorang
Kasus Ancolgate  berkaitan dengan studi banding ke luar negeri (Australia, Jepang, dan Afrika Selatan) yang diikuti oleh sekitar 40 orang anggota DPRD DKI Komisi D. Dalam studi banding tersebut anggota DPRD yang berangkat memanfaatkan dua sumber keuangan yaitu SPJ anggaran yang diperoleh dari anggaran DPRD DKI  sebesar 5.2 milyar rupiah dan uang saku dari PT Pembangunan Jaya Ancol sebesar 2,1 milyar rupiah. Dalam kasus ini, sembilan orang staf Bapedal dan Sekwilda dikenai tindakan administratif, semenara Kepala Bapedal DKI Bambang Sungkono dan Kepala Dinas Tata Kota DKI Ahmadin Ahmad tidak dikenai tindakan apapun.
Dalam kasus ini, terlihat penyelesaian masalah dilakukan segera setelah media cetak dan elektronik menemukan  ketidakberesan dalam masalah pendanaan studi banding tersebut. Penyelesaian secara administratif ini seakan dilakukan agar dapat mencegah tindakan hukum yang mungkin bisa dilakukan. Rasa ketidakadilan masyarakat terusik tatkala sanksi ini hanya dikenakan pada pegawai rendahan. Pihak kejaksaan pun terkesan mengulur-ulur janji untuk
mengusut kasus ini sampai ke pejabat tertinggi di DKI, yaitu Gubernur Sutiyoso, yang sebagai komisaris PT Pembangunan Jaya Ancol ikut bertanggungjawab. Sampai makalah ini dibuat, janji untuk menyidik pejabat-pejabat DKI ini belum terlaksana.

.3. Nepotisme
Terdakwa Letda (Inf) Agus Isrok, anak mantan Kepala Staf Angkatan Darat (KASAD), Jendral (TNI) Subagyo HS, diperingan hukumannya oleh mahkamah militer dari empat tahun penjara menjadi dua tahun penjara . Disamping itu, terdakwa juga dikembalikan ke kesatuannya selama dua minggu sambil menunggu dan berpikir terhadap vonis  mahkamah militer tinggi. Putusan ini terasa tidak adil dibandingkan dengan vonis-vonis kasus narkoba lainnya yang terjadi di Indonesia yang didasarkan atas pelaksanaan UU Psikotropika. Disamping itu, proses pengadilan ini juga memperlihatkan eksklusivitas hukum militer yang diterapkan pada kasus narkoba.Tommy Soeharto, anak mantan presiden Soeharto, yang dihukum 18 bulan penjara karena kasus manipulasi tukar gling tanah Bulog di Kelapa Gading dan merugikan negara sebesar 96 milyar rupiah, sampai saat ini tidak berhasil ditangkap dan dimasukkan ke LP Cipinang sesuai perintah pengadilan setelah permohonan grasinya ditolak oleh presiden. Masyarakat melihat bagaimana pihak pengacara, kejaksaan, dan kepolisian saling berkomentar melalui media cetak dan elektronik, namun sampai saat makalah ini dibuat Tommy Soeharto masih berkeliaran di udara bebas.  Dua kasus ini mengesankan adanya diskriminasi hukum bagi keluarga bekas pejabat.

.4. Tekanan Internasional
Kasus Atambua, Nusa Tenggara Timur, yang terjadi pada tanggal 6 September 2000, yang menewaskan tiga orang staf UNHCR mendapatkan perhatian internasional dengan cepat. Dimulai dengan keluarnya Resolusi No. 1319 dari Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa Bangsa  (DK PBB), surat dari Direktur Bank Dunia kepada Presiden Abdurrahman Wahid untuk segera menyelesaikan permasalahan tersebut, permintaan DK PBB untuk mengirim misi penyelidik kasus Atambua ke Indonesia, desakan CGI (Consultatif Group on Indonesia), sampai dengan ancaman embargo oleh Amerika Serikat. Tekanan internasional ini mengakibatkan cepatnya pemerintah bertindak, dengan segera melucuti persenjataan milisi Timor Timur dan mengadili beberapa bekas anggota milisi Timor Leste yang dianggap bertanggung jawab.
Apabila dibandingkan dengan kasus-kasus kekerasan yang terjadi di bagian lain di Indonesia, misalnya : Ambon, Aceh, Sambas, Sampit, kasus Atambua termasuk kasus yang mengalami penyelesaian secara cepat dan tanggap dari aparat. Dalam enam bulan sejak kasus ini terjadi, kekerasan berhasil diatasi, milisi berhasil dilucuti, dan situasi kembali aman dan normal. Meskipun ada perhatian internasional dalam kasus-kasus kekerasan lain di Indonesia, namun tekanan yang terjadi tidak sebesar pada kasus Atambua. Dalam pandangan masyarakat, derajat tekanan internasional menentukan kecepatan aparat melakukan penegakan hukum dalam mengatasi kasus kekerasan.

Beberapa Akibat Inkonsistensi Penegakan Hukum di Indonesia
Inkonsistensi penegakan hukum di atas berlangsung terus menerus selama puluhan tahun. Masyarakat sudah terbiasa melihat bagaimana law in action berbeda dengan law in the book. Masyarakat bersikap apatis bila mereka tidak tersangkut paut dengan satu masalah yang terjadi. Apabila melihat penodongan di jalan umum, jarang terjadi masyarakat membantu korban atau melaporkan pelaku kepada aparat. Namun bila mereka sendiri tersangkut dalam suatu masalah, tidak jarang mereka memanfaatkan inkonsistensi penegakan hukum ini. Beberapa contoh kasus berikut ini menunjukkan bagaimana perilaku masyarakat menyesuaikan diri dengan pola inkonsistensi penegakan hukum di Indonesia.

1.      Ketidakpercayaan Masyarakat pada Hukum
Masyarakat meyakini bahwa hukum lebih banyak merugikan mereka,dan sedapat mungkin dihindari. Bila seseorang melanggar peraturan lalu lintas misalnya, maka sudah jamak dilakukan upaya “damai” dengan petugas polisi yang bersangkutan agar tidak membawa kasusnya ke pengadilan . Memang dalam hukum perdata, dikenal pilihan penyelesaian masalah dengan arbitrase atau mediasi di luar jalur pengadilan untuk menghemat waktu dan biaya. Namun tidak demikian hal nya dengan hukum pidana yang hanya menyelesaikan masalah melalui pengadilan. Di Indonesia, bahkan persoalan pidana pun masyarakat mempunyai pilihan diluar pengadilan.
Pendapat umum menempatkan hakim pada posisi “tertuduh” dalam lemahnya penegakan hukum di Indonesia, namun demikian peranan pengacara, jaksa penuntut dan polisi sebagai penyidik dalam hal ini juga penting. Suatu dakwaan yang sangat lemah dan tidak cermat, didukung dengan argumentasi asal-asalan, yang berasal dari hasil penyelidikan yang
tidak akurat dari pihak kepolisian, tentu saja akan mempersulit hakim dalam memutuskan suatu perkara. Kelemahan penyidikan dan penyusunan dakwaan ini kadang bukan disebabkan rendahnya kemampuan aparat maupun ketiadaan sarana pendukung, tapi lebih banyak disebabkan oleh lemahnya mental aparat itu sendiri. Beberapa kasus menunjukkan
aparat memang tidak berniat untuk melanjutkan perkara yang bersangkutan ke pengadilan atas persetujuan dengan pihak pengacara dan terdakwa, oleh karena itu dakwaan disusun secara sembarangan dan sengaja untuk mudah dipatahkan.
Beberapa kasus pengadilan yang memutus bebas terdakwa kasus korupsi yang menyangkut pengusaha besar dan kroni mantan presiden Soeharto menunjukkan hal ini. Terdakwa terbukti bebas karena dakwaan yang lemah.

2.      Penyelesaian Konflik dengan Kekerasan
Penyelesaian konflik dengan kekerasan terjadi secara sporadis di beberapa tempat di Indonesia. Suatu persoalan pelanggaran hukum kecil kadang membawa akibat hukuman yang sangat berat bagi pelakunya yang diterima tanpa melalui proses pengadilan. Pembakaran dan penganiayaan pencuri sepeda motor, perampok, penodong yang dilakukan massa beberapa waktu yang lalu merupakan contoh. Menurut Durkheim  masyarakat ini menerapkan hukum yang bersifat menekan (repressive). Masyarakat menerapkan sanksi tersebut tidak atas pertimbangan rasional mengenai jumlah kerugian obyektif yang menimpa masyarakat itu, melainkan atas dasar kemarahan kolektif yang muncul karena tindakan yang menyimpang dari pelaku. Masyarakat ingin memberi pelajaran kepada pelaku dan juga pada memberi peringatan anggota masyarakat yang lain agar tidak melakukan tindakan pelanggaran yang sama.

Pada beberapa kasus yang lain, masyarakat menggunakan kelompoknya untukmenyelesaikan konflik yang terjadi. Mulai dari skala “kecil” seperti kasus Matraman yang melibatkan warga Palmeriam dan Berland, kasus tawuran pelajar, sampai dengan kasus-kasus besar seperti Ambon, Sambas, Sampit, dan sebagainya. Pada kasus Sampit, misalnya, konflik antara etnis Dayak dan Madura yang terjadi karena ketidakadilan ekonomi tidak dibawa dalam jalur hukum, melainkan diselesaikan melalui tindakan kelompok. Dalam hal ini, kebenaran menurut hukum tidak dianut sama sekali, masing-masing kelompok menggunakan norma dan hukumnya dalam menentukan kebenaran serta sanksi bagi pelaku yang melanggar hukum menurut versinya tersebut. Tidak diperlukan adanya argumentasi dan pembelaan bagi si terdakwa.
Suatu kesalahan yang berdasarkan keputusan kelompok tertentu, segera divonis menurut aturan kelompok tersebut.

3.      Pemanfaatan Inkonsistensi Penegakan Hukum untuk Kepentingan Pribadi
Dalam beberapa kasus yang berhasil ditemukan oleh media cetak, terbukti adanya kasus korupsi dan kolusi yang melibatkan baik polisi, kejaksaan, maupun hakim dalam suatuperkara. Kasus ini biasanya melibatkan pengacara yang menjadi perantara antara terdakwa dan aparat penegak hukum.Fungsi pengacara yang seharusnya berada di kutub memperjuangkan keadilan bagi terdakwa , berubah menjadi pencari kebebasan dankeputusan seringan mungkin
dengan segala cara bagi kliennya. Sementara posisi polisi dan jaksa yang seharusnya berada di kutub yang menjaga adanya kepastian hukum, terbeli oleh kekayaan terdakwa. Demikian pula hakim yang seharusnya berada ditengah-tengah dua kutub tersebut, kutub keadilan dan kepastian hukum, bisa jadi condong membebaskan atau memberikan putusan seringan-ringannya bagi terdakwa setelah melalui kesepakatan tertentu. Dengan skenario diatas, lengkaplah sandiwara pengadilan yang seharusnya mencari kebenaran dan penyelesaian
masalah menjadi suatu pertunjukan yang telah diatur untuk membebaskan terdakwa. Dan karena menyangkut uang, hanya orang kaya lah yang dapat menikmati keadaan inkonsistensi penegakan hukum ini. Sementara orang miskin (atau yang relatif lebih miskin) akan putusan pengadilan yang lebih tinggi.

4. Penggunaan Tekanan Asing dalam Proses Peradilan
Campur tangan asing bagaikan pisau bermata dua. Disatu pihak tekanan asing dapat membawa berkah bagi pencari keadilan dengan dipercepatnya penyidikan dan penegakan hukum oleh aparat. Lembaga asing non pemerintah biasanya aktif melakukan tekanan-tekanan semaam ini, misalnya dalam pengusutan kasus pembunuhan di Aceh, tragedi Ambon, Sambas, dan sebagainya.
Namun di lain pihak tekanan asing kadang juga memberi mimpi buruk pula bagi masyarakat. Beberapa perusahaan asing yang terkena kasus pencemaran lingkungan, gugatan tanah oleh masyarakat adat setempat, serta sengketa perburuhan, kadang menggunakan negara induknya untuk melakukan pendekatan dan tekanan terhadap pemerintah Indonesia agar tercapai kesepakatan yang menguntungkan kepentingan mereka, tanpa membiarkan hukum untuk menyelesaikannnya secara mandiri. Tekanan tersebut dapat berupa ancaman embargo, penggagalan penanaman modal, penghentian dukungan politik, dan sebagainya. Kesemuanya untuk meningkatkan posisi tawar mereka dalam proses hukum yang sedang atau akan dijalaninya.

Ø  C. Alternative kebijakan

Prioritas Penegakan Hukum
Inkonsistensi penegakan hukum merupakan masalah penting yang harus segera ditangani. Masalah hukum ini paling dirasakan oleh masyarakat dan membawa dampak yang sangat buruk bagi kehidupan bermasyarakat. Persepsi masyarakat yang buruk mengenai penegakan hukum, menggiring masyarakat pada pola kehidupan sosial yang tidak mempercayai hukum sebagai sarana penyelesaian konflik, dan cenderung menyelesaikan konflik dan permasalahan mereka di luar jalur. Cara ini membawa akibat buruk bagi masyarakat itu sendiri.Pemanfaatan inkonsistensi penegakan hukum oleh sekelompok orang demi kepentingannya sendiri, selalu berakibat merugikan pihak yang tidak mempunyai kemampuan yang setara. Akibatnya rasa ketidakadilan dan ketidakpuasan tumbuh subur di masyarakat Indonesia.Penegakan hukum yang konsisten harus terus diupayakan untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat terhadap hukum di Indonesia.
Melihat penyebab inkonsistensi penegakan hukum di Indonesia, maka prioritas perbaikan harus dilakukan pada aparat, baik polisi, jaksa, hakim, maupun pemerintah (eksekutif) yang ada dalam wilayah peradilan yang bersangkutan. Tanpa perbaikan kinerja dan moral aparat, maka segala bentuk kolusi, korupsi, dan nepotisme akan terus berpengaruh dalam proses penegakan hukum di Indonesia.Selain perbaikan kinerja aparat, materi hukum sendiri juga harus terus menerus diperbaiki. Kasus tidak adanya perundangan yang dapat menjerat para terdakwa kasus korupsi, diharapkan tidak akan muncul lagi dengan adanya undang-undang yang lebih tegas. Selain mengharapkan peran DPR sebagai lembaga legistatif untuk lebih aktif dalam memperbaiki dan menciptakan perundang-undang yang lebih sesuai dengan perkembangan jaman, diharapkan pula peran dan kontrol publik baik melalui perorangan, media massa, maupun lembaga swadaya masyarakat. Peningkatan kesadaran hukum masyarakat juga menjadi faktor kunci dalam penegakan hukum secara konsisten.

Ø  D. Kesimpulan dan rekomendasi

HUKUM –di indonesia tidak pernah berpihak sama sekali terhadap masyarakat kecil yang berharap dapat perlindungan dari para petinggi ke adilan negara, perlakuan tersebut tidak di rasakan oleh masyarakat kecil pada umumnya.Para Penegak Hukum yang telah mendapatka mandat seharusnya mengutamakan keadilan dan selalu memperhatikan rakyat,tetapi itu semua jarang sekali mereka lakukan,mereka hanya memikirkan kepentingan pribadi dan golongan di bandingkan kepentingan masyarakat.Hal tersebut merupakan suatu perilaku yang dapat merugikan dan merusak nama baik penegak hukum di indonesia,Yang mana seharusnya para penegak hukum bisa melihat mana yang buruk dan mana yang benar.Banyak sekali masyarakat yang merasa di rugikan karena tidak adanya keadilan hukum di negara indonesia.Hukum di indonesian ini lebih membela dan mengutamakan masyarakat yang berkuasa dan mempunyai uang dari pada masyarakat miskin yang tidak mempunyai apapun.Mereka mengeyampingkan masyarakat kecil yang sangat membutuhkan dukungan dan keadilan.banyak sekali kejadian-kejadian tersebut,di antaranya kasus yang menimpa pasien RS.Omni Internasional Hospital khususnya prita mulyasari dengan tuduhan pencemaran nama baik terhadap RS.OMNI.
Kasus yang menimpa prita mulyasari yang di seret ke penjara terkait dengan email dan surat pembaca atas keluhan yang beredar di dunia online dengan RS.Omni Internasional Hospital masih belum mempunyai titik terang,meskipun kasus prita di tutup dan di anggap telah selesai,prita akan balik menuntut RS.OMNI dengan sebesar 1 milyar.Kasus ini sudah hampir 1,5 tahun namun belum juga usai,rumah sakit OMNI tidak pernah merasa melakukan hal tersebut dan membantahnya melalui kuasa hukum RS.Omni Iinternasional Hospital alam sutera pada tanggal 8 september 2008.Prita dijerat dengan Pasal 310 dan 311 KUHP serta Pasal 27 Ayat (3) UU ITE sehingga diancam enam tahun penjara.masa hukuman prita melebihi hukuman seorang koruptor yang benar-benar terbukti merugikan aset negara,mengapa keadilan di indonesia ini tidak adil memperlakukan masyarakat dengan kasusnya masing-masing,dan selalu melihat status seseorang, dan tidak pernah mementingkan masyarakt kecil.kriminalisasi yang menimpa pasien RS.Omni Internasional Hospital Alam Sutera prita mulyasari,menimbulkan keprihatinan dan reaksi keras dari berbagai pihak,mulai dari pejabat tinggi negara hingga masyarakat luas.Bayak sekali yang di lakukan masyarakat untuk menujukan rasasimpatinya salah satunya dengan mengumpulkan koin di setiap daerah masing-masing yang jika di jumlahkan dana sumbagan prita kurang lebih mencapai 500 juta.Mantan Menteri Perindustrian (Menperid) fahmi Idris turut menyumbang separuh dari kerugian material dan immaterial yang di tetapkan PT.Banten,dan berjumlahRp.102 juta.Dewan Perwakilan Rakyat (DPD) RI turut menyumbangkan Rp.50 juta untuk prita mulyasari.Total yang di peroleh yakni Rp.568 juta,itu semua belum keseluruha dari daerah-daerah yang ikut mengumpulkan koin untuk prita.Beda dengan mantan presiden dan wakil presiden Megawati Soekarno putri dan Jusuf Kalla.Megawati bahkan sampai mengunjungi rumah tahanan Lembaga Permasyarakatan Wanita Tanggerang yang di mana prita di jebloskan oleh rumah sakit asing tersebut.akan tetapi hal tersebut merupakan suatu simpati yang tulus dari pejabat tinggi negara atau hanya mencari simpati masyarakat pada saat pencalonan politik.semua itu menjadi pertanyaan besar di masyarakat.dalam kasus prita ,banyak yang menilai itu semua ada kerjasama antara pihak kejaksaan tengerang dan pihak RS Omni Internasional Hospital.
Polisi dan kejaksaan saling tuding soal siapa yang bertanggung jawab memuat pasal 27 ayat 3 sebagai dakwaan primer dalam undang-undang nomor 11 tahun 2008 tentang informasi dan transaksi elektronik dalam perkara pidana dengan terdakwa prita mulyasari.saat ini polisi juga menghentikan kasus dugaan mal praktek oleh RS. Omni internasioal,dengan alasan tidak banyak bukti untuk melanjutkanya kasus tersebut. Padahal jika kita lihat,banyak sekali bukti-bukti yang bisa mengkuatkan kasus prita.Dari situ kita bisa lihat bahwa hukum indonesia tidak pernah berpihak pada masyarakat kecil dan sangat mahalnya hukum keadilan di negara indonesia.Kasus seperti ini,tidak hanya terjadi oleh prita seorang,masih banyak masyarakat-masyarakat yang Tidak mendapatkan keadilan,bahkan sudah merasakan dinginnya teralis besi akibat ke tidak adilan para penegak hukum di indonesi.mungkin kita semua tau, sangat sulit sekali untuk merubah ini semua,karena itu semua bisa di sebut juga sebagai tradisi yang sulit di hapus dalam menentukan ke adilan untuk masyarakat kecil.Akan tetapi kita sebagai masyarakat hanya menginginkan perubahan yang benar-benar bisa merubah setidaknya sedikit keadilan di indonesia ini,mulai lah berintropeksi dari semua kejadian-kejadian yang menimpa masyarakat kecil atau para pejabat yang tidak kunjung usai.
Ø  Daftar Pustaka
 
1. Hukum, Keadilan Dan Kemanusiaan Oleh Ismail Saleh Selasa, www.google.com,2002.
2.      Ali, Achmad., Pengadilan dan Masyarakat, Hasanudin University Press, Ujung Pandang, 1999.
3.      Doyle, Paul Johnson, Teori Sosiologi Klasik dan Modern, terj. Robert M.Z. Lawang, Gramedia, Jakarta, 1986.
4.      Soemardi, Dedi, Pengantar Hukum Indonesia, Ind-Hill-Co, Jakarta, 1997
5. Sulit dan mahalnya hokum di Indonesia untuk masyarakat kecil,tresna amaliawati, www.google,com, 2010.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar