A. Pendahuluan
HUKUM
DAN KEADILAN MENJADI MAINAN
Apa sesungguhnya yang dimaksud
dengan "kembali pada hukum, keadilan dan kemanusiaan (back to law, justice
and humanity). Apa maksudnya, karena tidak ada lagi hukum, keadilan dan rasa
kemanusiaan di Indonesia? Apa proses hukum yang berintikan keadilan sudah jauh menyimpang
dari keadilan dan kemanusiaan?
Atau karena ikut-ikutan latah saja,
dikaitkan dengan ungkapan back to basic dan ada lagi back to nature? Atau
mungkin ada alasan lain untuk menunjukkan, bahwa dalam proses peradilan dan
penegakan hukum di Indonesia tidak ada yang "kebal hukum", siapa pun harus
diperiksa "tanpa pandang bulu" termasuk "setan gundul" dan
tidak perlu takut pada backing-backing-nya?
Atau mungkin ada sebab-sebab lain,
seperti pelecehan terhadap lembaga peradilan? Apakah kondisi hukum dan keadilan
di Indonesia sudah sedemikian ruwet semrawutnya seperti benang-benang kusut,
semakin dibenahi semakin kisut? Atau karena aparat penegak hukum, tidak
berhasil mengejar para pelaku tindak pidana korupsi, ibarat sulitnya mengejar
layang-layang yang putus benangnya?
Dalam kehidupan kita sehari-hari
memang sering terdengar orang berkeluh kesah, bagaimana mungkin keadilan dapat
ditegakkan di negeri kita, kalau seorang pencuri ayam dihukum berat, sedangkan
seorang koruptor yang merugikan negara hanya dihukum ringan saja?"Di mana
letak keadilannya?"
Masyarakat kita pada umumnya sangat
sederhana dalam pola pikirnya, terutama dalam masyarakat adat yang hanya mampu
mengucapkan kalimat yang singkat saja, yaitu nyuwun adil (minta keadilan).
Bahkan mitos yang pernah berkembang dan pernah kita dengar di masyarakat adalah
"kapan datangnya ratu adil". Itu menunjukkan bahwa keadilan adalah
sesuatu yang bersifat mendasar dalam kehidupan seorang manusia dan karena itu
pula masalah yang juga paling mendasar ialah bagaimana "ukuran
keadilan" itu sendiri.
Persoalan ini sudah berkembang sejak
munculnya ilmu-ilmu sosial, dan sampai sekarang masih terus diperdebatkan
orang. Karena itu ada yang beranggapan, bahwa ukuran keadilan itu
"subyektif" dan "relatif". "Subyektif", karena
ditentukan oleh manusia yangmempunyai wewenang memutuskan itu tidak
mungkinmemiliki kesempurnaan yang absolut. "Relatif", karena bagi
seseorang dirasakan sudah adil, namun bagi orang lain dirasakan sama sekali
tidak adil.
Bangsa Indonesia tetap memandang
keadilan dan norma-norma kemanusiaan yang adil dan beradab sebagai sesuatu yang
luhur dan suci, yang dapat memberi ketentraman dan ketenangan lahir dan batin,
karena keadilan memang merupakan kepentingan utama dalam
kehidupan manusia. Karena itu dapat
dimengerti, apabila terdapat perbedaan dalam melihat takaran atau ukuran
keadilan.
Memang ada bermacam-macam teori dan
pandangan mengenai hukum dan keadilan yang dapat kita pelajari, namun pertanyaan
praktis yang timbul adalah: Apakah anggota masyarakat yang meminta keadilan
mendapat perlakuan dan pelayanan secara wajar oleh polisi, jaksa dan hakim?
Apakah polisi, jaksa dan hakim melayani anggota masyarakat tersebut secara
jujur dan tidak memihak? Apakah proses penangkapan, penahanan, penyidikan sampai
pemeriksaan di pengadilan tidak menyimpang dari asas praduga tidak bersalah dan
perlindungan hak asasi manusia? Apakah proses tersebut tetap berada pada bingkai
atau pigura hukum?
Koridor menurut tatabahasa artinya
suatu lorong yang menghubungkan gedung yang satu dengan yang lain. Lorong tidak
selalu lurus dan terang, tapi ada kalanya berbelok-belok yang ujungnya gelap,
tidak kelihatan transparan. Kelakar sementara orang, jangan-jangan prosesnya
menjadi “UDU-45" (Ujung-ujungnya
duit, dikasih 4 minta 5). Keadilan pada hakekatnya merupakan perasaan yang
luhur yang tidak bisa diperoleh melalui pembelian uang atau nilai kebendaan
lainnya.
Oleh karena itu apabila ada orang
yang membeli keadilan melalui uang atau menjual keadilan, langsung saja
perasaan kita tersinggung. Nurani kita tergores. Dan, jika ini terjadi secara
alamiah akan terjadi perlawanan dalam kalbu kita. Para penegak hukum haruslebih
tanggap dan cekatan dalam menangani rasa keadilan masyarakat. Kendati demikian,
kita tidak boleh menutup mata, bahwa proses penegakan keadilan belum lagi
sepenuhnya berjalan sesuai dengan harapan kita. Itu terbukti dari masih adanya
kejadian-kejadian yang merusak citra keadilan, seperti masih adanya perbuatan
yang tercela dari beberapa hakim. Padahal jabatan hakim adalah jabatan yang
tidak mungkin dapat dilakukan oleh siapa saja, melainkan hanya oleh orang-orang
yang amat terpilih saja.
Di antara jabatan duniawi yang
disebut secara terbatas di dalam Kitab Suci, adalah hakim dan karena itu tidak jauh
dari maksud Kitab Suci, bahwa peradilan itu dilaksanakan "Demi Keadilan
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa." Para hakim juga sadar, bahwa
berbagai ragam cobaan dan godaan akan selalu menghadang mereka yang akan
mencoba mempengaruhi keteguhan imannya, dengan antara lain mau menerima imbalan
sesuatu.
Apabila hal tersebut terjadi, maka
putusan keadilan yang diucapkan, adalah keadilan semu dan keadilan yang tidak
adil, karena didasarkan atas imbalan materi, dan tidak didasarkan atas keyakinan
terhadap salah atau tidaknya seseorang. Martabat hakim akan jatuh di mata para
pencari keadilan, baik karena para hakim mau menerima sesuatu malahan meminta
sesuatu, ataupun karena tidak dapat mengendalikan diri dalam memimpin persidangan.
Menegakkan keadilan dan kebenaran
atas dasar imbalan tertentu, sesungguhnya merupakan pekerjaan yang bersifat
nista dan tidak layak dilakukan oleh seorang hakim. Itulah sebabnya dalam
pertemuan CGI di Jakartabulan November 2001, ditekankan perlunya segera dilaksanakan
program reformasi di sektor peradilan. Dalam salah satu presentasi bahkan
diungkapkan bahwa 75 % penduduk Indonesia berpendapat sektor peradilan adalah
sektor yang korup.
Ada ungkapan yang berbunyi, What
this country needs is not more judges, but more judgment. Itulah sebabnya mengapa
penegakan hukum merupakan upaya menumbuhkan dan menegakkan keadilan dalam
ukuran obyektif dengan alur pikir yang rasional. Jauh dari rasa emosional, apalagi
irasional, tidak berdasarkan akal yang sehat, malahan berkesan akal-akalan.
Mantan Hakim Agung Johansyah
mengakui terkadang terdapat inkonsistensi putusan di Mahkamah Agung karena
kelemahan administrasi dan banyaknya penafsiran hukum untuk kasus yang berbeda
tapi jenis perkara yang sama.
Beban-beban kemasyarakatan dan
kenyataan-kenyataan dalam masyarakat akibat perubahan dan perkembangan masyarakat
dewasa ini khususnya di bidang hukum dan keadilan, perlu diimbangi dengan sikap
tanggap untuk lebih memantapkan prinsip "kembali pada hukum, keadilan dan
kemanusiaan."
Ø B.
Pernyataan masalah
Inkonsistensi Penegaka Hukum di Indonesia
Salah satu fungsi hukum
adalah alat penyelesaian sengketa atau konflik, disamping fungsi yang lain sebagaialat
pengendalian sosial dan alat rekayasa sosial. Pembicaraan tentang hukum barulah
dimulai jikaterjadi suatu konflik antara dua pihak yang kemudian diselesaikan
dengan bantuan pihak ketiga.Dalamhal ini munculnya hukum berkaitan dengan suatu
bentuk penyelesaian konflik yang bersifatnetral dan tidak memihak.
Pelaksanaan hukum di
Indonesia sering dilihat dalam kacamata yang berbeda oleh masyarakat. Hukum
sebagai dewa penolong bagi mereka yang diuntungkan, dan hukum sebagai hantu
bagi mereka yang dirugikan. Hukum yang seharusnya bersifat netral bagi setiap
pencari keadilan atau bagi setiap pihak yang sedang mengalami konflik,
seringkali bersifat diskriminatif , memihak kepada yang kuat dan berkuasa.
Seiring dengan
runtuhnya rezim Soeharto pada tahun 1998, masyarakat yang tertindas oleh
hukum bergerak mencari keadilan yang seharusnya mereka peroleh sejak dahulu.
Namun kadang usaha mereka dilakukan tidak melalui jalur hukum. Misalnya
penyerobotan tanah di Tapos dan di daerah-daerah persengketaan tanah yang lain,
konflik perburuhan yang mengakibatkan perusakan di sejumlah pabrik, dan
sebagainya.
Pengembalian
kepercayaan masyarakat terhadap hukum sebagai alat penyelesaian konflik
dirasakan perlunya untuk mewujudkan ketertiban masyarakat Indonesia, yang oleh
karena euphoria “reformasi” menjadi tidak terkendali dan cenderung menyelesaikan
masalah dengan caranya sendiri.
Permasalahan Hukum
Permasalahan hukum di
Indonesia terjadi karena beberapa hal, baik dari sistem peradilannya, perangkat
hukumnya, inkonsistensi penegakan hukum, intervensi kekuasaan, maupun
perlindungan hukum . Diantara banyaknya permasalahan tersebut, satu hal yang
sering dilihat dan dirasakan oleh masyarakat awam adalah adanya inkonsistensi penegakan
hukum olehaparat.Inkonsistensipenegakan hukum ini kadang melibatkan masyarakat
itu sendiri, keluarga, maupun lingkungan terdekatnya yang lain (tetangga,
teman, dan sebagainya). Namun inkonsistensi penegakan hukum ini sering pula
mereka temui dalam media elektronik maupun cetak, yang menyangkut tokoh-tokoh
masyarakat (pejabat,
orang kaya, dan sebagainya).Inkonsistensi penegakan hukum ini berlangsung dari hari ke hari, baik dalam peristiwa yang berskala kecil maupun besar. Peristiwa kecil bisa terjadi pada saat berkendaraan di jalan raya. Masyarakat dapat melihat bagaimana suatu peraturan lalu lintas (misalnya aturan three-in-one di beberapa ruas jalan di Jakarta) tidak berlaku bagi anggota TNI dan POLRI. Polisi yang bertugas membiarkan begitu saja mobil dinas TNI yang melintas meski mobil tersebut berpenumpang kurang dari tiga orang dan kadang malah disertai pemberian hormat apabila kebetulan penumpangnya berpangkat lebih tinggi.
orang kaya, dan sebagainya).Inkonsistensi penegakan hukum ini berlangsung dari hari ke hari, baik dalam peristiwa yang berskala kecil maupun besar. Peristiwa kecil bisa terjadi pada saat berkendaraan di jalan raya. Masyarakat dapat melihat bagaimana suatu peraturan lalu lintas (misalnya aturan three-in-one di beberapa ruas jalan di Jakarta) tidak berlaku bagi anggota TNI dan POLRI. Polisi yang bertugas membiarkan begitu saja mobil dinas TNI yang melintas meski mobil tersebut berpenumpang kurang dari tiga orang dan kadang malah disertai pemberian hormat apabila kebetulan penumpangnya berpangkat lebih tinggi.
Contoh peristiwa
klasik yang menjadi bacaan umum sehari-hari adalah : koruptor kelas kakap
dibebaskan dari dakwaan karena kurangnya bukti, sementara pencuri ayam bisa
terkena hukuman tiga bulan penjara karena adanya bukti nyata. Tumbangnya rezim
Soeharto tahun 1998 ternyata tidak disertai dengan reformasi di bidang hukum.
Ketimpangan dan putusan hukum yang tidak menyentuh rasa keadilan masyarakat
tetap terasakan dari hari ke hari.
Beberapa Kasus Inkonsistensi Penegakan
Hukum di Indonesia
Kasus-kasus
inkonsistensi penegakan hukum di Indonesia terjadi karena beberapa hal. Penulis
mengelompokkannya berdasarkan beberapa alasan yang banyak ditemui oleh
masyarakat awam, baik melalui pengalaman pencari keadilan itu sendiri, maupun
peristiwa lain yang bisa diikuti melalui media cetak dan elektronik
1. Tingkat Kekayaan Seseorang
Salah satu keputusan kontroversial
yang terjadi pada bulan Februari ini adalah jatuhnya putusan Pengadilan Negeri
Jakarta Pusat (PN Jakpus) terhadap terpidana kasus korupsi proyek pemetaan dan
pemotretan areal hutan antara Departemen Hutan dan PT Mapindo Parama, Mohammad
“Bob” Hasan. PN Jakpus menjatuhkan hukuman dua tahun penjara potong masa
tahanan dan menetapkan terpidana tetap dalam status tahanan rumah. Putusan ini
menimbulkan rasa ketidakadilan masyarakat, karena untuk kasus korupsi yang
merugikan negara puluhan milyar rupiah, Bob Hasan yang sudah berstatus
terpidana hanya dijatuhi hukuman tahanan rumah. Proses pengadilan pun relatif
berjalan dengan cepat. Demikian pula yang terjadi dengan kasus Bank Bali, BLBI
(Bantuan Likuiditas Bank Indonesia), kasus Texmaco, dan kasus-kasus korupsi
milyaran rupiah lainnya.
Dibandingkan dengan kasus pencurian
kecil, perampokan bersenjata, korupsi yang merugikannegara “hanya” sekian puluh
juta rupiah, putusan kasus Bob Hasan sama sekali tidak sebanding. Masyarakat
dengan mudah melihat bahwa kekayaanlah yang menyebabkan Bob Hasan lolos
dari hukuman penjara. Kemampuannya menyewa pengacara tangguh
dengan tarif mahal yang dapat mementahkan dakwaan kejaksaan, hanya dimiliki oleh orang-orang dengan tingkat kekayaan tinggi.Kita bisa membandingkan dengan kasus Tasiran yang memperjuangkan tanah garapannya sejak tahun 1985 . Tasiran, seorang petani sederhana, yang terlibat konflik tanah seluas 1000 meter persegi warisan ayahnya, dijatuhi hukumankurungan tiga bulan dengan masa percobaan enam bulan pada tanggal 2 April 1986, karena terbukti mencangkuli tanah sengketa. Karena mengulang perbuatannya pada masa percobaan, Tasirankembali masuk penjara pada bulan Agustus 1986. Sekeluarnya dari penjara, Tasiran berkelana mencari keadilan dengan mondar-mandir Bojonegoro-Jakarta lebih dari 100 kali dengan mendatangi Mahkamah Agung, Mabes Polri, Kejaksaan Agung, Mabes Polri, DPR/MPR, Bina Graha, Istana Merdeka, dan sebagainya. Pada tahun 1996 ia kembali memperoleh keputusan yang mengalahkan dirinya.
dengan tarif mahal yang dapat mementahkan dakwaan kejaksaan, hanya dimiliki oleh orang-orang dengan tingkat kekayaan tinggi.Kita bisa membandingkan dengan kasus Tasiran yang memperjuangkan tanah garapannya sejak tahun 1985 . Tasiran, seorang petani sederhana, yang terlibat konflik tanah seluas 1000 meter persegi warisan ayahnya, dijatuhi hukumankurungan tiga bulan dengan masa percobaan enam bulan pada tanggal 2 April 1986, karena terbukti mencangkuli tanah sengketa. Karena mengulang perbuatannya pada masa percobaan, Tasirankembali masuk penjara pada bulan Agustus 1986. Sekeluarnya dari penjara, Tasiran berkelana mencari keadilan dengan mondar-mandir Bojonegoro-Jakarta lebih dari 100 kali dengan mendatangi Mahkamah Agung, Mabes Polri, Kejaksaan Agung, Mabes Polri, DPR/MPR, Bina Graha, Istana Merdeka, dan sebagainya. Pada tahun 1996 ia kembali memperoleh keputusan yang mengalahkan dirinya.
.2. Tingkat Jabatan Seseorang
Kasus Ancolgate berkaitan
dengan studi banding ke luar negeri (Australia, Jepang, dan Afrika Selatan)
yang diikuti oleh sekitar 40 orang anggota DPRD DKI Komisi D. Dalam studi
banding tersebut anggota DPRD yang berangkat memanfaatkan dua sumber keuangan
yaitu SPJ anggaran yang diperoleh dari anggaran DPRD DKI sebesar 5.2
milyar rupiah dan uang saku dari PT Pembangunan Jaya Ancol sebesar 2,1 milyar
rupiah. Dalam kasus ini, sembilan orang staf Bapedal dan Sekwilda dikenai
tindakan administratif, semenara Kepala Bapedal DKI Bambang Sungkono dan Kepala
Dinas Tata Kota DKI Ahmadin Ahmad tidak dikenai tindakan apapun.
Dalam kasus ini, terlihat penyelesaian masalah dilakukan segera setelah media cetak dan elektronik menemukan ketidakberesan dalam masalah pendanaan studi banding tersebut. Penyelesaian secara administratif ini seakan dilakukan agar dapat mencegah tindakan hukum yang mungkin bisa dilakukan. Rasa ketidakadilan masyarakat terusik tatkala sanksi ini hanya dikenakan pada pegawai rendahan. Pihak kejaksaan pun terkesan mengulur-ulur janji untuk
mengusut kasus ini sampai ke pejabat tertinggi di DKI, yaitu Gubernur Sutiyoso, yang sebagai komisaris PT Pembangunan Jaya Ancol ikut bertanggungjawab. Sampai makalah ini dibuat, janji untuk menyidik pejabat-pejabat DKI ini belum terlaksana.
Dalam kasus ini, terlihat penyelesaian masalah dilakukan segera setelah media cetak dan elektronik menemukan ketidakberesan dalam masalah pendanaan studi banding tersebut. Penyelesaian secara administratif ini seakan dilakukan agar dapat mencegah tindakan hukum yang mungkin bisa dilakukan. Rasa ketidakadilan masyarakat terusik tatkala sanksi ini hanya dikenakan pada pegawai rendahan. Pihak kejaksaan pun terkesan mengulur-ulur janji untuk
mengusut kasus ini sampai ke pejabat tertinggi di DKI, yaitu Gubernur Sutiyoso, yang sebagai komisaris PT Pembangunan Jaya Ancol ikut bertanggungjawab. Sampai makalah ini dibuat, janji untuk menyidik pejabat-pejabat DKI ini belum terlaksana.
.3. Nepotisme
Terdakwa Letda (Inf) Agus Isrok,
anak mantan Kepala Staf Angkatan Darat (KASAD), Jendral (TNI) Subagyo HS,
diperingan hukumannya oleh mahkamah militer dari empat tahun penjara menjadi
dua tahun penjara . Disamping itu, terdakwa juga dikembalikan ke kesatuannya
selama dua minggu sambil menunggu dan berpikir terhadap vonis mahkamah
militer tinggi. Putusan ini terasa tidak adil dibandingkan dengan vonis-vonis
kasus narkoba lainnya yang terjadi di Indonesia yang didasarkan atas
pelaksanaan UU Psikotropika. Disamping itu, proses pengadilan ini juga
memperlihatkan eksklusivitas hukum militer yang diterapkan pada kasus
narkoba.Tommy Soeharto, anak mantan presiden Soeharto, yang dihukum 18 bulan
penjara karena kasus manipulasi tukar gling tanah Bulog di Kelapa Gading dan
merugikan negara sebesar 96 milyar rupiah, sampai saat ini tidak berhasil
ditangkap dan dimasukkan ke LP Cipinang sesuai perintah pengadilan setelah
permohonan grasinya ditolak oleh presiden. Masyarakat melihat bagaimana pihak
pengacara, kejaksaan, dan kepolisian saling berkomentar melalui media cetak dan
elektronik, namun sampai saat makalah ini dibuat Tommy Soeharto masih
berkeliaran di udara bebas. Dua kasus ini mengesankan adanya diskriminasi
hukum bagi keluarga bekas pejabat.
.4. Tekanan Internasional
Kasus Atambua, Nusa Tenggara Timur,
yang terjadi pada tanggal 6 September 2000, yang menewaskan tiga orang staf
UNHCR mendapatkan perhatian internasional dengan cepat. Dimulai dengan
keluarnya Resolusi No. 1319 dari Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa Bangsa (DK
PBB), surat dari Direktur Bank Dunia kepada Presiden Abdurrahman Wahid untuk
segera menyelesaikan permasalahan tersebut, permintaan DK PBB untuk mengirim
misi penyelidik kasus Atambua ke Indonesia, desakan CGI (Consultatif Group on
Indonesia), sampai dengan ancaman embargo oleh Amerika Serikat. Tekanan
internasional ini mengakibatkan cepatnya pemerintah bertindak, dengan segera
melucuti persenjataan milisi Timor Timur dan mengadili beberapa bekas anggota
milisi Timor Leste yang dianggap bertanggung jawab.
Apabila dibandingkan dengan
kasus-kasus kekerasan yang terjadi di bagian lain di Indonesia, misalnya :
Ambon, Aceh, Sambas, Sampit, kasus Atambua termasuk kasus yang mengalami
penyelesaian secara cepat dan tanggap dari aparat. Dalam enam bulan sejak kasus
ini terjadi, kekerasan berhasil diatasi, milisi berhasil dilucuti, dan situasi
kembali aman dan normal. Meskipun ada perhatian internasional dalam kasus-kasus
kekerasan lain di Indonesia, namun tekanan yang terjadi tidak sebesar pada
kasus Atambua. Dalam pandangan masyarakat, derajat tekanan internasional
menentukan kecepatan aparat melakukan penegakan hukum dalam mengatasi kasus
kekerasan.
Beberapa Akibat Inkonsistensi Penegakan
Hukum di Indonesia
Inkonsistensi penegakan hukum di
atas berlangsung terus menerus selama puluhan tahun. Masyarakat sudah terbiasa
melihat bagaimana law in action berbeda dengan law in the book. Masyarakat
bersikap apatis bila mereka tidak tersangkut paut dengan satu masalah yang
terjadi. Apabila melihat penodongan di jalan umum, jarang terjadi masyarakat
membantu korban atau melaporkan pelaku kepada aparat. Namun bila mereka sendiri
tersangkut dalam suatu masalah, tidak jarang mereka memanfaatkan inkonsistensi
penegakan hukum ini. Beberapa contoh kasus berikut ini menunjukkan bagaimana
perilaku masyarakat menyesuaikan diri dengan pola inkonsistensi penegakan hukum
di Indonesia.
1. Ketidakpercayaan Masyarakat pada Hukum
Masyarakat
meyakini bahwa hukum lebih banyak merugikan mereka,dan sedapat mungkin
dihindari. Bila seseorang melanggar peraturan lalu lintas misalnya, maka sudah
jamak dilakukan upaya “damai” dengan petugas polisi yang bersangkutan agar
tidak membawa kasusnya ke pengadilan . Memang dalam hukum perdata, dikenal
pilihan penyelesaian masalah dengan arbitrase atau mediasi di luar jalur
pengadilan untuk menghemat waktu dan biaya. Namun tidak demikian hal nya dengan
hukum pidana yang hanya menyelesaikan masalah melalui pengadilan. Di Indonesia,
bahkan persoalan pidana pun masyarakat mempunyai pilihan diluar pengadilan.
Pendapat
umum menempatkan hakim pada posisi “tertuduh” dalam lemahnya penegakan hukum di
Indonesia, namun demikian peranan pengacara, jaksa penuntut dan polisi sebagai
penyidik dalam hal ini juga penting. Suatu dakwaan yang sangat lemah dan tidak
cermat, didukung dengan argumentasi asal-asalan, yang berasal dari hasil
penyelidikan yang
tidak akurat dari pihak kepolisian, tentu saja akan mempersulit hakim dalam memutuskan suatu perkara. Kelemahan penyidikan dan penyusunan dakwaan ini kadang bukan disebabkan rendahnya kemampuan aparat maupun ketiadaan sarana pendukung, tapi lebih banyak disebabkan oleh lemahnya mental aparat itu sendiri. Beberapa kasus menunjukkan
aparat memang tidak berniat untuk melanjutkan perkara yang bersangkutan ke pengadilan atas persetujuan dengan pihak pengacara dan terdakwa, oleh karena itu dakwaan disusun secara sembarangan dan sengaja untuk mudah dipatahkan.
tidak akurat dari pihak kepolisian, tentu saja akan mempersulit hakim dalam memutuskan suatu perkara. Kelemahan penyidikan dan penyusunan dakwaan ini kadang bukan disebabkan rendahnya kemampuan aparat maupun ketiadaan sarana pendukung, tapi lebih banyak disebabkan oleh lemahnya mental aparat itu sendiri. Beberapa kasus menunjukkan
aparat memang tidak berniat untuk melanjutkan perkara yang bersangkutan ke pengadilan atas persetujuan dengan pihak pengacara dan terdakwa, oleh karena itu dakwaan disusun secara sembarangan dan sengaja untuk mudah dipatahkan.
Beberapa
kasus pengadilan yang memutus bebas terdakwa kasus korupsi yang menyangkut
pengusaha besar dan kroni mantan presiden Soeharto menunjukkan hal ini.
Terdakwa terbukti bebas karena dakwaan yang lemah.
2. Penyelesaian Konflik dengan Kekerasan
Penyelesaian
konflik dengan kekerasan terjadi secara sporadis di beberapa tempat di
Indonesia. Suatu persoalan pelanggaran hukum kecil kadang membawa akibat
hukuman yang sangat berat bagi pelakunya yang diterima tanpa melalui proses
pengadilan. Pembakaran dan penganiayaan pencuri sepeda motor, perampok,
penodong yang dilakukan massa beberapa waktu yang lalu merupakan contoh.
Menurut Durkheim masyarakat ini menerapkan hukum yang bersifat menekan
(repressive). Masyarakat menerapkan sanksi tersebut tidak atas pertimbangan
rasional mengenai jumlah kerugian obyektif yang menimpa masyarakat itu,
melainkan atas dasar kemarahan kolektif yang muncul karena tindakan yang
menyimpang dari pelaku. Masyarakat ingin memberi pelajaran kepada pelaku dan
juga pada memberi peringatan anggota masyarakat yang lain agar tidak melakukan
tindakan pelanggaran yang sama.
Pada beberapa kasus yang lain, masyarakat menggunakan kelompoknya untukmenyelesaikan konflik yang terjadi. Mulai dari skala “kecil” seperti kasus Matraman yang melibatkan warga Palmeriam dan Berland, kasus tawuran pelajar, sampai dengan kasus-kasus besar seperti Ambon, Sambas, Sampit, dan sebagainya. Pada kasus Sampit, misalnya, konflik antara etnis Dayak dan Madura yang terjadi karena ketidakadilan ekonomi tidak dibawa dalam jalur hukum, melainkan diselesaikan melalui tindakan kelompok. Dalam hal ini, kebenaran menurut hukum tidak dianut sama sekali, masing-masing kelompok menggunakan norma dan hukumnya dalam menentukan kebenaran serta sanksi bagi pelaku yang melanggar hukum menurut versinya tersebut. Tidak diperlukan adanya argumentasi dan pembelaan bagi si terdakwa.
Suatu kesalahan yang berdasarkan keputusan kelompok tertentu, segera divonis menurut aturan kelompok tersebut.
Pada beberapa kasus yang lain, masyarakat menggunakan kelompoknya untukmenyelesaikan konflik yang terjadi. Mulai dari skala “kecil” seperti kasus Matraman yang melibatkan warga Palmeriam dan Berland, kasus tawuran pelajar, sampai dengan kasus-kasus besar seperti Ambon, Sambas, Sampit, dan sebagainya. Pada kasus Sampit, misalnya, konflik antara etnis Dayak dan Madura yang terjadi karena ketidakadilan ekonomi tidak dibawa dalam jalur hukum, melainkan diselesaikan melalui tindakan kelompok. Dalam hal ini, kebenaran menurut hukum tidak dianut sama sekali, masing-masing kelompok menggunakan norma dan hukumnya dalam menentukan kebenaran serta sanksi bagi pelaku yang melanggar hukum menurut versinya tersebut. Tidak diperlukan adanya argumentasi dan pembelaan bagi si terdakwa.
Suatu kesalahan yang berdasarkan keputusan kelompok tertentu, segera divonis menurut aturan kelompok tersebut.
3.
Pemanfaatan
Inkonsistensi Penegakan Hukum untuk Kepentingan Pribadi
Dalam
beberapa kasus yang berhasil ditemukan oleh media cetak, terbukti adanya kasus
korupsi dan kolusi yang melibatkan baik polisi, kejaksaan, maupun hakim dalam
suatuperkara. Kasus ini biasanya melibatkan pengacara yang menjadi perantara
antara terdakwa dan aparat penegak hukum.Fungsi pengacara yang seharusnya
berada di kutub memperjuangkan keadilan bagi terdakwa , berubah menjadi pencari
kebebasan dankeputusan seringan mungkin
dengan segala cara bagi kliennya. Sementara posisi polisi dan jaksa yang seharusnya berada di kutub yang menjaga adanya kepastian hukum, terbeli oleh kekayaan terdakwa. Demikian pula hakim yang seharusnya berada ditengah-tengah dua kutub tersebut, kutub keadilan dan kepastian hukum, bisa jadi condong membebaskan atau memberikan putusan seringan-ringannya bagi terdakwa setelah melalui kesepakatan tertentu. Dengan skenario diatas, lengkaplah sandiwara pengadilan yang seharusnya mencari kebenaran dan penyelesaian
masalah menjadi suatu pertunjukan yang telah diatur untuk membebaskan terdakwa. Dan karena menyangkut uang, hanya orang kaya lah yang dapat menikmati keadaan inkonsistensi penegakan hukum ini. Sementara orang miskin (atau yang relatif lebih miskin) akan putusan pengadilan yang lebih tinggi.
dengan segala cara bagi kliennya. Sementara posisi polisi dan jaksa yang seharusnya berada di kutub yang menjaga adanya kepastian hukum, terbeli oleh kekayaan terdakwa. Demikian pula hakim yang seharusnya berada ditengah-tengah dua kutub tersebut, kutub keadilan dan kepastian hukum, bisa jadi condong membebaskan atau memberikan putusan seringan-ringannya bagi terdakwa setelah melalui kesepakatan tertentu. Dengan skenario diatas, lengkaplah sandiwara pengadilan yang seharusnya mencari kebenaran dan penyelesaian
masalah menjadi suatu pertunjukan yang telah diatur untuk membebaskan terdakwa. Dan karena menyangkut uang, hanya orang kaya lah yang dapat menikmati keadaan inkonsistensi penegakan hukum ini. Sementara orang miskin (atau yang relatif lebih miskin) akan putusan pengadilan yang lebih tinggi.
4.
Penggunaan Tekanan Asing dalam Proses Peradilan
Campur
tangan asing bagaikan pisau bermata dua. Disatu pihak tekanan asing dapat
membawa berkah bagi pencari keadilan dengan dipercepatnya penyidikan dan
penegakan hukum oleh aparat. Lembaga asing non pemerintah biasanya aktif melakukan
tekanan-tekanan semaam ini, misalnya dalam pengusutan kasus pembunuhan di Aceh,
tragedi Ambon, Sambas, dan sebagainya.
Namun
di lain pihak tekanan asing kadang juga memberi mimpi buruk pula bagi
masyarakat. Beberapa perusahaan asing yang terkena kasus pencemaran lingkungan,
gugatan tanah oleh masyarakat adat setempat, serta sengketa perburuhan, kadang
menggunakan negara induknya untuk melakukan pendekatan dan tekanan terhadap
pemerintah Indonesia agar tercapai kesepakatan yang menguntungkan kepentingan
mereka, tanpa membiarkan hukum untuk menyelesaikannnya secara mandiri. Tekanan
tersebut dapat berupa ancaman embargo, penggagalan penanaman modal, penghentian
dukungan politik, dan sebagainya. Kesemuanya untuk meningkatkan posisi tawar
mereka dalam proses hukum yang sedang atau akan dijalaninya.
Ø C.
Alternative kebijakan
Prioritas
Penegakan Hukum
Inkonsistensi
penegakan hukum merupakan masalah penting yang harus segera ditangani. Masalah
hukum ini paling dirasakan oleh masyarakat dan membawa dampak yang sangat buruk
bagi kehidupan bermasyarakat. Persepsi masyarakat yang buruk mengenai penegakan
hukum, menggiring masyarakat pada pola kehidupan sosial yang tidak mempercayai
hukum sebagai sarana penyelesaian konflik, dan cenderung menyelesaikan konflik
dan permasalahan mereka di luar jalur. Cara ini membawa akibat buruk bagi
masyarakat itu sendiri.Pemanfaatan inkonsistensi penegakan hukum oleh
sekelompok orang demi kepentingannya sendiri, selalu berakibat merugikan pihak
yang tidak mempunyai kemampuan yang setara. Akibatnya rasa ketidakadilan dan
ketidakpuasan tumbuh subur di masyarakat Indonesia.Penegakan hukum yang
konsisten harus terus diupayakan untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat
terhadap hukum di Indonesia.
Melihat
penyebab inkonsistensi penegakan hukum di Indonesia, maka prioritas perbaikan
harus dilakukan pada aparat, baik polisi, jaksa, hakim, maupun pemerintah
(eksekutif) yang ada dalam wilayah peradilan yang bersangkutan. Tanpa perbaikan
kinerja dan moral aparat, maka segala bentuk kolusi, korupsi, dan nepotisme
akan terus berpengaruh dalam proses penegakan hukum di Indonesia.Selain perbaikan
kinerja aparat, materi hukum sendiri juga harus terus menerus diperbaiki. Kasus
tidak adanya perundangan yang dapat menjerat para terdakwa kasus korupsi,
diharapkan tidak akan muncul lagi dengan adanya undang-undang yang lebih tegas.
Selain mengharapkan peran DPR sebagai lembaga legistatif untuk lebih aktif
dalam memperbaiki dan menciptakan perundang-undang yang lebih sesuai dengan
perkembangan jaman, diharapkan pula peran dan kontrol publik baik melalui
perorangan, media massa, maupun lembaga swadaya masyarakat. Peningkatan
kesadaran hukum masyarakat juga menjadi faktor kunci dalam penegakan hukum
secara konsisten.
Ø D.
Kesimpulan dan rekomendasi
HUKUM –di indonesia tidak pernah
berpihak sama sekali terhadap masyarakat kecil yang berharap dapat perlindungan
dari para petinggi ke adilan negara, perlakuan tersebut tidak di rasakan oleh
masyarakat kecil pada umumnya.Para Penegak Hukum yang telah mendapatka mandat
seharusnya mengutamakan keadilan dan selalu memperhatikan rakyat,tetapi itu
semua jarang sekali mereka lakukan,mereka hanya memikirkan kepentingan pribadi
dan golongan di bandingkan kepentingan masyarakat.Hal tersebut merupakan suatu
perilaku yang dapat merugikan dan merusak nama baik penegak hukum di
indonesia,Yang mana seharusnya para penegak hukum bisa melihat mana yang buruk
dan mana yang benar.Banyak sekali masyarakat yang merasa di rugikan karena
tidak adanya keadilan hukum di negara indonesia.Hukum di indonesian ini lebih
membela dan mengutamakan masyarakat yang berkuasa dan mempunyai uang dari pada
masyarakat miskin yang tidak mempunyai apapun.Mereka mengeyampingkan masyarakat
kecil yang sangat membutuhkan dukungan dan keadilan.banyak sekali
kejadian-kejadian tersebut,di antaranya kasus yang menimpa pasien RS.Omni
Internasional Hospital khususnya prita mulyasari dengan tuduhan pencemaran nama
baik terhadap RS.OMNI.
Kasus yang menimpa prita mulyasari yang
di seret ke penjara terkait dengan email dan surat pembaca atas keluhan yang
beredar di dunia online dengan RS.Omni Internasional Hospital masih belum
mempunyai titik terang,meskipun kasus prita di tutup dan di anggap telah
selesai,prita akan balik menuntut RS.OMNI dengan sebesar 1 milyar.Kasus ini
sudah hampir 1,5 tahun namun belum juga usai,rumah sakit OMNI tidak pernah
merasa melakukan hal tersebut dan membantahnya melalui kuasa hukum RS.Omni
Iinternasional Hospital alam sutera pada tanggal 8 september 2008.Prita dijerat
dengan Pasal 310 dan 311 KUHP serta Pasal 27 Ayat (3) UU ITE sehingga diancam
enam tahun penjara.masa hukuman prita melebihi hukuman seorang koruptor yang
benar-benar terbukti merugikan aset negara,mengapa keadilan di indonesia ini
tidak adil memperlakukan masyarakat dengan kasusnya masing-masing,dan selalu
melihat status seseorang, dan tidak pernah mementingkan masyarakt kecil.kriminalisasi
yang menimpa pasien RS.Omni Internasional Hospital Alam Sutera prita
mulyasari,menimbulkan keprihatinan dan reaksi keras dari berbagai pihak,mulai
dari pejabat tinggi negara hingga masyarakat luas.Bayak sekali yang di lakukan
masyarakat untuk menujukan rasasimpatinya salah satunya dengan mengumpulkan
koin di setiap daerah masing-masing yang jika di jumlahkan dana sumbagan prita
kurang lebih mencapai 500 juta.Mantan Menteri Perindustrian (Menperid) fahmi
Idris turut menyumbang separuh dari kerugian material dan immaterial yang di
tetapkan PT.Banten,dan berjumlahRp.102 juta.Dewan Perwakilan Rakyat (DPD) RI
turut menyumbangkan Rp.50 juta untuk prita mulyasari.Total yang di peroleh
yakni Rp.568 juta,itu semua belum keseluruha dari daerah-daerah yang ikut
mengumpulkan koin untuk prita.Beda dengan mantan presiden dan wakil presiden
Megawati Soekarno putri dan Jusuf Kalla.Megawati bahkan sampai mengunjungi
rumah tahanan Lembaga Permasyarakatan Wanita Tanggerang yang di mana prita di
jebloskan oleh rumah sakit asing tersebut.akan tetapi hal tersebut merupakan
suatu simpati yang tulus dari pejabat tinggi negara atau hanya mencari simpati
masyarakat pada saat pencalonan politik.semua itu menjadi pertanyaan besar di
masyarakat.dalam kasus prita ,banyak yang menilai itu semua ada kerjasama
antara pihak kejaksaan tengerang dan pihak RS Omni Internasional Hospital.
Polisi dan kejaksaan saling tuding soal
siapa yang bertanggung jawab memuat pasal 27 ayat 3 sebagai dakwaan primer
dalam undang-undang nomor 11 tahun 2008 tentang informasi dan transaksi
elektronik dalam perkara pidana dengan terdakwa prita mulyasari.saat ini polisi
juga menghentikan kasus dugaan mal praktek oleh RS. Omni internasioal,dengan
alasan tidak banyak bukti untuk melanjutkanya kasus tersebut. Padahal jika kita
lihat,banyak sekali bukti-bukti yang bisa mengkuatkan kasus prita.Dari situ
kita bisa lihat bahwa hukum indonesia tidak pernah berpihak pada masyarakat
kecil dan sangat mahalnya hukum keadilan di negara indonesia.Kasus seperti ini,tidak
hanya terjadi oleh prita seorang,masih banyak masyarakat-masyarakat yang Tidak
mendapatkan keadilan,bahkan sudah merasakan dinginnya teralis besi akibat ke
tidak adilan para penegak hukum di indonesi.mungkin kita semua tau, sangat
sulit sekali untuk merubah ini semua,karena itu semua bisa di sebut juga
sebagai tradisi yang sulit di hapus dalam menentukan ke adilan untuk masyarakat
kecil.Akan tetapi kita sebagai masyarakat hanya menginginkan perubahan yang
benar-benar bisa merubah setidaknya sedikit keadilan di indonesia ini,mulai lah
berintropeksi dari semua kejadian-kejadian yang menimpa masyarakat kecil atau
para pejabat yang tidak kunjung usai.
Ø Daftar Pustaka
1. Hukum, Keadilan Dan Kemanusiaan Oleh Ismail Saleh Selasa, www.google.com,2002.
2.
Ali, Achmad., Pengadilan dan Masyarakat,
Hasanudin University Press, Ujung Pandang, 1999.
3.
Doyle, Paul Johnson, Teori Sosiologi Klasik
dan Modern, terj. Robert M.Z. Lawang, Gramedia, Jakarta, 1986.
4.
Soemardi, Dedi, Pengantar Hukum Indonesia,
Ind-Hill-Co, Jakarta, 1997
5. Sulit dan mahalnya hokum di Indonesia untuk masyarakat kecil,tresna amaliawati, www.google,com, 2010.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar