Rabu, 03 Oktober 2012

Birokrasi


BAGIAN PERTAMA : BIROKRASI DULU
Bab. I
Pengertan dan Sejarah Birokrasi
1. 1 Defenisi Birokrasi
·   Demokrasi berasal dari bahasa Yunani yaitu ‘demos’ artinya rakyat dan ‘kratos/kratein
artinya pemerintahan. Jadi pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat, yang
artinya: pemerintahan di mana rakyat memegang peranan penting Itulah pengertian demokrasi dilihat dari asal katanya.
·   Birokrasi yang dalam bahasa inggris disebut bureaucracy berasal dari kata bereau ( berarti meja ) dan cratein ( berarti kekuasaan ), maksudnya kekuasaan berada pada orang – orang di belakang meja.
·   Birokrasi menurut kamus besar bahasa Indonesia adalah sistem pemerintahan yang dijalankan oleh pegawai pemerintah karena telah berpegang pada hierarki dan jenjang jabatan. Atau dalam defenisinya  yang lain birokrasi adalah cara bekerja atau susunan pekerjaan yang serba lamban, serta menurut tata aturan yang banyak liku – likunya.
·   Lance castle (1976 ) dalam mengamati konteks birokrasi ke indonesiaan di defenisikan sebagai orang – orang bergaji yang menjalankan fungsi pemerintah, termasuk di dalamnya oara perwira tentara dalam birokrasi militer.
·   Almond dan Powel (1966 ) mendefinisikan birokrasi sebagai sekumpulan jabatan dan tugas yang terorganisir secara formal, yang berkaitan dengan jenjang yang kompleks dan tunduk pada pembuat peran yang formal.
·    Kal Marx birokrasi adalah alat untuk kepentingan kelas penguasa atau borjuis ( sehingga birokrasi sianggap sebagai penyebab patologi social ).
·   Honore De Balza birokrasi adalah mekanisme raksasa yang dijalankan oleh orang- orang  kerdil.
·   Donal Warwick birokrasi adalah orgnisasi pemerintah yang menjadi tuan dan bukan pelayan masyarakat.
·   Michael Croizer birokrasi adalah organisasi yang tidak dapat mengoreksi tingkah lakunya dengan cara belajar dari kesalahan.
·   Demokrasi, menurut Anwar Ibrahim, adalah pemberian kebebasan kepada warga negara, sedangkan kegagalan atau keberhasilan ekonomi menyangkut sistem yang diterapkan.
·   Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas, Demokrasi adalah bentuk atau mekanisme sistem pemerintahan suatu negara sebagai upaya mewujudkan kedaulatan rakyat (kekuasaan warganegara) atas negara untuk dijalankan oleh pemerintah negara tersebut.
·   Max Weber brokrasi adalah metode organisasi terbaik dengan spesialis tugas, walaupun kemudian banyak pakar yang mengkritiknya.
1. 2 Sejarah Perkembangan Birokrasi di Indonesia
Sejarah perkembangan birokrasi di Indonesia mengalami tiga tahap, sebagai berikut :
1.  Masa Pra – Kolonial
Pada masa yang kekuasaan  birokrasinya menonjol dari kerajaan – kerajaanlain adalah masa kerajaan mataram. Raja merupakan pusat kekuasaan, karena kedudukannya ini maka pemerintahan raja dan semua keputusannya tidak dapat dibantah dan ia memiliki kekuasaan tak terbatas. Pola birokrasi yang terjadi pada masa ini kekuasaan dan wewenang yang dimiliki penguasa dijalankan dengan menguasai bidang – bidang kehidupan masyarakat baik dengan paksaan, kepatuhan terhadap segala tindakan, dan kemauan penguasa, karena menganggap sumber kemampuan adalah sesuatu yang berada atau dimiliki raja, sehingga ukurannya adalah bagaimana bentuk pengabdian masyarakat pada rajanya.
2.  Masa Kololnial
Pada masa colonial ini kehidupan masyarakat Indonesia dibagi berdasarkan lapisan – lapisan hierarkis yang berdampak pada diskriminasi dalam semua bidang kehidupan. Pada masa ini aparatur Negara bukan sebagai pelayan masyarakat tetapi bagaimana pelayanan yang menguntungkan bagi penguasa. Untuk menghubungkan pihak colonial dengan dengan rakyat pribumi maka diangkatlah birokrat dari golongan priyayi yang merupakan cikal bakal lahirnya kelompok terpelajar yang terpengaruh dengan ethosfeodal, yang cara kerjanya tidak mendasarkan pada orientasi pencapaian tujuan, yang mestinya dapat mengembangkan profesionalisme dan keahlian sebagai golongan elite modern tapi mereka malah mewakili bentuk birokrat feudal untuk kepentingan penguasa.
3. Birokrasi Paska – Kolonial
Masa penjajahan yang terlalu lama membuat kondisi tersebut mempengaruhi birokrasi pemerintahan di Indonesia. Hal ini tercermin dari seleksi kenaikan pangkat, penerimaan pegawai, sampai pelaksanaan tugas di mana yang di utamakan adalah loyalitas individu kepada pimpinan dan harus sesuai dengan pimpinan, bukan bagaiman kepentingan masyarakat diutamakan. Demikian pula pengaruh kerajaan yang pernah ada dimana aparatur Negara, pejabat negaradianggap sebagai priyayi, serta ada budaya sungkan terhadap atasan walaupun atasan melakukan penyimpangan. Serta pembawaan dari birokrat sendiri yang tidak mau dikoreksi dan diganggu gugat keputusannya seperti halnya para  raja dan penguasa pada masa kerajaan dulu serta birokrat pada masa penjajahan.
BAGIAN KEDUA : BIROKRASI KINI
Bab. II
Wajah Birokrasi Saat Ini

2. 1 Perilaku Birokrat Dalam Pelayanan Publik Saat Ini
Salah satu agenda utama yang dijanjikan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan jajaran kabinetnya di awal pemerintahan adalah memperbaiki layanan birokrasi dan karena itu diperlukan reformasi birokrasi. Salah satu agenda utama yang dijanjikan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan jajaran kabinetnya di awal pemerintahan adalah memperbaiki layanan birokrasi dan karena itu diperlukan reformasi birokrasi. Kemacetan lalu lintas birokrasi harus segera diakhiri, begitu kira-kira pesan sang Presiden. Pertanyaannya, sebegitu rusakkah layanan birokrasi kita sehingga menjadi target Presiden untuk diperbaiki? Dan apakah yang dijanjikan tersebut kini sudah terlaksana? Sejarah birokrasi di Indonesia memang gelap, terutama semasa Orde Baru, yang menjadikan birokrasi sebagai mesin politik. Imbas dari itu semua, masyarakat harus membayar ongkos kemahalan. Ketidakpastian waktu, ketidakpastian tarif/biaya, dan ketidakpastian siapa yang bertanggung jawab adalah beberapa fakta empiris rusaknya layanan birokrasi. Lebih dari itu, layanan birokrasi justru menjadi salah satu causa prima terhadap maraknya korupsi dan kolusi. Atas layanan birokrasi yang buruk itu, sangat wajar jika akhirnya pelayanan publik di Indonesia pun sulit diakses oleh rakyat miskin, demikian menurut Bank Dunia, yang dilaporkan dalam World Development Report 2004. Bahkan, masih menurut Bank Dunia, layanan birokrasi di Indonesia bukan saja sulit diakses oleh rakyat miskin, tapi juga menjadi salah satu penyebab ekonomi biaya tinggi (high cost economy), yang kemudian membebani kinerja ekonomi Indonesia. Secara normatif, upaya pemerintah memperbaiki layanan birokrasi sudah dilakukan. Setidak-tidaknya, Kantor Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara telah mengeluarkan SK Nomor KEP/26/M.PAN/2/2004 tentang Peningkatan Pelayanan Publik. Presiden juga mencanangkan setiap 14 September sebagai Hari Pelanggan Nasional. Sayangnya, hingga detik ini, perbaikan layanan birokrasi yang dilakukan oleh Presiden Susilo hanya sebatas normatif. Sebab, secara empiris membuktikan sebaliknya. Masyarakat konsumen masih sering menjadi korban atas ketidakmanusiawian dan ketidakprofesionalan layanan birokrasi.
Memang, upaya Presiden Susilo membuat SMS center 4949 patut mendapatkan apresiasi. Namun, nyatanya SMS center 4949 tidak berbeda jauh dengan Kotak Pos 5000, ala Presiden Soeharto dulu. Tindak lanjut atas informasi yang masuk ke SMS center 4949 tidak pernah jelas, dan publik tidak pernah mengetahui langkah konkret apa yang dilakukan Presiden terhadap kasus-kasus yang masuk ke SMS center tersebut. Pencanangan Hari Pelanggan Nasional juga nyaris tidak berdampak signifikan terhadap peningkatan kualitas layanan, terutama terhadap komoditas public utilities yang disediakan oleh berbagai operator, seperti PDAM, PT Telkom, PT PLN, dan PT Pertamina. Buktinya, setidak-tidaknya menurut Data Pengaduan Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia, komoditas yang disediakan oleh ketiga operator tersebut masih jeblok di mata konsumen. Layanan publik, seperti KTP, SIM, STNK, paspor, akta tanah, akta kelahiran, IMB, juga belum ada kemajuan yang berarti, terutama dari sisi perbaikan manajemen dan pengadministrasian. Sebagai contoh, tidak sedikit anggota masyarakat yang bisa mengantongi lebih dari satu kartu identitas yang bernama KTP. Ini menunjukkan kacaunya sistem administrasi kependudukan, baik pada level daerah maupun nasional. Jangan heran kalau para petualang jihad (kaum teroris) begitu at home di Indonesia karena di negeri inilah mereka bisa beralih rupa dengan begitu mudahnya. Calo-calo di seputar pengurusan SIM dan STNK juga masih leluasa bergentayangan di sekitar lokasi. Mengurus SIM/STNK jika mau cepat, ya lewat biro jasa saja, begitu kira-kira. Begitu juga dengan mengurus paspor. Kalau kita datang ke kantor Imigrasi, pasti akan didekati oknum yang bisa mempercepat proses pengurusan. Tentu dengan imbalan biaya berlipat-lipat. Bahkan Presiden Susilo beberapa waktu lalu dibuat meradang dengan kinerja keimigrasian ini, yang justru menjadi salah satu pemicu hengkangnya para calon investor yang akan datang ke Indonesia. Otonomi daerah, yang semula diidealkan untuk efisiensi layanan birokrasi, kini yang terjadi justru sebaliknya. Di berbagai tempat, otonomi daerah justru menjadi sumber utama ketidakefisienan layanan birokrasi. Konyolnya, sumber-sumber ketidakefisienan tersebut justru dilegalkan, misalnya via perda, peraturan gubernur, atau aturan di bawahnya. Bahkan sering terjadi berebut kaveling antara pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/pemerintah kota, khususnya untuk komoditas basah, misalnya, izin trayek angkutan umum dan pengujian KIR. Presiden Susilo, melalui Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara, dalam waktu dekat ini juga akan meluncurkan RUU Layanan Publik. Saat ini rancangan undang-undang tersebut sudah sampai di meja DPR, bahkan sedianya menjadi salah satu rancangan undang-undang yang akan disahkan pada masa sidang 2005. Secara substansi RUU Layanan Publik lumayan baik karena ingin mengikis habis ketidakefisienan layanan birokrasi, yakni dengan membuat standar pelayanan, seperti prosedur pelayanan, waktu pelayanan, biaya pelayanan, produk pelayanan, sarana dan prasarana, kompetensi petugas pemberi pelayanan, pengawasan intern, penanganan pengaduan, saran dan masukan, serta jaminan pelayanan (Pasal 17 RUU Layanan Publik, Draf VIII). RUU Layanan Publik ini juga memberikan ruang yang luas bagi masyarakat jika terjadi sengketa antara masyarakat dan pemberi pelayanan publik, bahkan melalui akses gugatan publik, baik dengan cara class action maupun legal standing (Pasal 40 RUU Layanan Publik, Draf VIII). Secara regulasi, saat ini memang terjadi kekosongan hukum (vacuum of law) untuk standardisasi layanan birokrasi. Sangat pantas jika di berbagai sektor praktek layanan birokrasi berjalan bak tanpa arah. Regulasi yang ada hanya sebatas SK Men-PAN Nomor KEP/26/M.PAN/2/2004 tentang Peningkatan Pelayanan Publik. Namun, SK Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara ini seperti macan ompong saja, apalagi di era otonomi daerah seperti sekarang ini. Kehadiran RUU Layanan Publik sedikit-banyak memberikan angin segar bagi perubahan birokrasi kita. Namun, lahirnya suatu produk hukum bukanlah jaminan akan terjadinya perubahan yang cepat. Apalagi di negeri ini praktek law enforcement masih memble, dan semangat kepatuhan terhadap produk hukum juga masih rendah. Sejatinya, perubahan paradigma di tataran pelaksana birokrasi merupakan hal yang sangat mendesak. Ideologi sebagai pangreh praja alias pegawai raja/pemerintah masih melekat erat hingga saat ini. Seharusnya ideologi para state apparatus (baca: PNS!) adalah pamomong masyarakat. Pantas, jika mereka justru minta dilayani oleh masyarakat, bukan melayani masyarakat. Mereka harus berubah!
2.2 Birokrasi dan Otonmi Daerah
 Penyelenggaraan otonomi daerah dilaksanakan dengan memperhatikan aspek demokrasi, keadilan, pemerataan dan potensi serta keanekaragaman daerah.  Tujuan pemberian otonomi kepada daerah berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, adalah untuk memberikan kewenangan yang luas, nyata dan bertanggung jawab secara proporsional yang diwujudkan dengan pengaturan, pembagian dan pemanfaatan sumber daya serta tindakan nyata pelaksanaan perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah, sehingga daerah dapat mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri sesuai dengan potensi dan keanekaragaman daerah.
Titik berat otonomi daerah adalah pada daerah kota dan kabupaten, karena daerah itu yang lebih langsung berhubungan dengan masyarakat. Makna “langsung berhubungan” adalah akan mempercepat dan memperpendek jalur pelayanan pemerintah kepada masyarakat. Di lapangan menunjukkan bahwa pelaksanaan otonomi daerah kurang lebih telah berjalan delapan tahun, namun belum berjalan sebagaimana yang diharapkan. Fenomena ini didasarkan hal-hal sebagai berikut : pertama masih lemahnya sumber daya aparatur (birokrat) daerah dalam melaksanakan tugas-tugas pemerintah baik yang bersifat rutin ( khususnya pelayanan kepada masyarakat) maupun yang bersifat pembangunan. Pelaksanaan tugas rutin dan pembangunan tidak boleh ditangguhkan apalagi dihentikan dengan alasan para birokrat pemerintah daerah sedang dalam proses penyempurnaan ; kedua, dibidang kepegawaian masalah yang dihadapi adalah simpang siurnya peraturan perundang-undangan yang mengatur bidang kepegawaian khususnya dalam penyusunan struktur organisasi yang tidak didasarkan pada suatu prinsip “the right man on the right place” dan meryd system, tetapi lebih menonjol pada tatanan spoil system.
Oleh karena itu, pelaksanaan otonomi daerah kalau dilihat dari sudut pandang fungsi pemerintahan dan fungsi birokrasi harus berubah secara tegas dan jelas. Karena filosofi otonomi daerah mengandung dua makna strategis, yaitu pertama, entrepreneur (kewirausahaan). Entrepreneur merupakan wujud dari konsep “Reinventing Government : yaitu mentransformasi semangat wirausaha ke dalam sektor publik dan bukan mengkomersilkan jasa pemerintah kepada masyarakat”. Kemudian, kedua intrapreneur (bentuk partisipasi masyarakat) yaitu dalam merencanakan pembangunan, maka masyarakat harus dilibatkan mulai dari perencanaan pembangunan yang dikenal dengan istilah “musyawarah perencanaan pembangunan” dan selanjutnya masyarakat ikut dalam pelaksanaan pembangunan sampai pada pengawasannya. Kedua Pendapat tersebut di atas dikemukakan oleh “ Osborn dan Gaebler”.
Pemberian otonomi daerah akan mengubah perilaku pemerintah daerah untuk lebih efisien dan profesional. Untuk meningkatkan efisiensi dan profesional, pemerintah daerah perlu melakukan perekayasaan ulang terhadap birokrasi. Karena selama ini ada kesan, ketika para birokrat dianggap tunduk secara kaku pada tata tertib untuk menjamin keseragaman dan mencegah favoritisme maka lahirlah ketidakcakapan yang terlatih.
Tujuan dilaksanakannya otonomi daerah adalah dalam rangk meningkatkan pelayanan publik, dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui pemberian kewenangan yang lebih besar kepada daerah. Di sisi yang lain, melalui pelaksanaan otonomi, pemerintah daerah diharapkan lebih kreatif dalam mengembangkan potensi di daerahnya masing-masing sehingga mereka akan mampu melakukan pembangunan daerah. Kesejahteraan rakyat sebagaimana hendak diwujudkan melalui pelaksanaan otonomi ini hanya mungkin dapat dicapai jika daerah mampu mengembangkan potensi yang mereka miliki sebagai modal utama untuk melakukan pembangunan. Oleh karena itu, aparat pemerintah daerah harus kreatif dalam mengembangkan setiap potensi yang mereka miliki sebagai usaha untuk meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD).
 Peningkatan PAD ini dapat mereka peroleh melalui pengelolaan perusahaan daerah secara efisien sehingga mampu menghasilkan keuntungan yang besar, pemanfaatan sumber-sumber kekayaan alam, atau melalui pajak dan penarikan investasi ke daerah sehingga akan memacu pertumbuhan ekonomi. Untuk menarik investasi ini, pemerintah daerah harus mampu mengembangkan birokrasi yang efisien, tidak korup, demokratis (dalam arti terdesentralisasi), dan ramah terhadap investasi. Pemerintah daerah masa lampau lebih bersifat pasif, tidak akuntabel, kurang responsif, dan tersentralisasikan oleh pusat, sehingga tidak lagi memadai untuk menjawab tantangan yang muncul. Singkatnya, otonomi daerah yang hendak dilaksanakan diharapkan akan memberikan manfaat yang besar terhadap daerah.
Di antara manfaat yang diharapkan adalah sebagai berikut. Pertama, peningkatan efisiensi dan efektivitas administrasi pemerintahan dan pembangunan di daerah. Kedua, terciptanya hubungan yang harmonis dan saling membutuhkan antara pemerintah dengan masyarakat. Ketiga, mempertinggi daya serap aspirasi masyarakat dalam program pembangunan. Keempat, terjadinya penanganan masalah secara terpusat dan tepat dari berbagai permasalahan aktual yang berkembang dalam masyarakat. Kelima, mendorong munculnya partisipasi masyarakat dalam pemerintahan dan pembangunan di daerah.7 Selanjutnya, agar otonomi daerah mendapatkan manfaat seperti telah dijelaskan di awal, kita membutuhkan wajah birokrasi yang baru, yang mampu bertindak sebagai kreator dan innovator dalam pembangunan daerah. Hal ini karena wajah birokrasi yang lama tidak lagi memadai untuk menopang  otonomi daerah yang penuh dengan tantangan, kompetisi, dan tentu saja kompleksitas permasalahan.
Sepanjang 2009-2010 kita menjalani dua jenis tahun politik: 2009 sebagai tahun politik nasional (ditandai pemilu legislatif-pemilu presiden), lalu kini berganti ke 2010 sebagai tahun politik lokal (serangkaian pilkada di 246 daerah). Selama dua tahun tersebut, sedikit-banyak “terganggu“ pula perhatian terhadap isu-isu lain dalam agenda desentralisasi/otonomi.
Khusus di tahun 2010 ini, selain pilkada tadi, prioritas pemerintah pusat tampaknya masih sebatas agenda instrumentalis: penataan pemekaran, penguatan propinsi, dst. Ihwal pemekaran, 2010 menjadi tahun perbaikan manajemen kebijakan lewat penyusunan grand design dan evaluasi kinerja daerah baru. Sementara terkait isu propinsi, pusat menargetkan selesainya pengaturan (PP) peran propinsi yang selama ini menjadi biang disharmoni antar level pemerintahan.
Pilihan fokus tersebut sekaligus menunjukan masih macetnya desentralisasi di tataran elite. Ini membuat otonomi kita cuma berisi urusan birokrasi/politisi, yang berisi agenda instrumentalis. Di seberang lainnya, faedah nyata otonomi bagi hidup rakyat masih serasa jauh panggang dari api. Hanya di sejumlah kecil daerah saja rakyat dapat menikmati buah inovasi pelayanan publik dan peningkatan kinerja ekonomi, sebagai hasil terobosan cerdas-berani Kepala Daerahnya.
Implikasi lebih serius, macetnya desentralisasi tersebut mempersulit pergeseran fase transisi ke konsolidasi desentralisasi saat ini. Esensi peralihan ini tentu tidak saja diukur dari selesainya penyesuaian karakter regulasi ke arah desentralistik, namun terutama pada beralihnya dominasi agenda instrumental-elitis menjadi substantif-publik. Gagal menetapkan agenda yang relevan bisa membuat kita senantiasa ada di zona transisi permanen, tak bergerak ke mana-mana (involusi).
Melihat latar masalah seperti di atas, peluang kemajuan daerah dan otonomi 2010 ini terletak pada tangan daerah itu sendiri. Bagi 7 Propinsi dan 239 Kab/Kota yang menyelenggarakan pilkada, peluang itu memang agak sempit karena sekitar 6-9 bulan selama 2010 habis terpakai buat pilkada, lalu masa pembelajaran bagi pasangan Kepda/Wakepda baru untuk menyusun program kerjanya.
Namun bagi daerah lainnya, mestinya selalu ada kesempatan guna membuktikan kinerjanya. Sebab, dalam hal penciptaan iklim bisnis/investasi, misalnya, upaya pemajuan sektor penting tersebut pada tahun ini ditentukan oleh komitmen pemda guna menyapu bersih segala sumbatan yang ada, dan terutama lagi adalah mempromosi berbagai praktik inovatif yang relevan.
Ihwal peran faktor inovasi ini, hasil survei IFC dan KPPOD “Doing Business in Indonesia 2010“, menunjukan bahwa daerah yang berkinerja terbaik dalam indikator memulai usaha dan melayani perijinan (Yogyakarta) dan pendaftaran properti (Bandung) adalah dua kota yang relatif berhasil membuat terobosan atas belitan struktural dalam tubuh pemerintahanya. Mereka, antara lain, melakukan upaya debirokratisasi-deregulasi melalui pembentukan pelayanan terpadu (PTSP).
Upaya inovasi birokrasi usaha ini dilakukan dengan metode integrasi berbagai kewenangan perijinan dan simplifikasi business process sehingga urusan perijinan menjadi lebih mudah, cepat, murah, jelas. Selain itu, dalam birokrasi sendiri, inovasi itu mendorong efektivitas kordinasi antar SKPD, mencegah kecenderungan eksternalisasi urusan internal birokrasi: investor menanggung resiko opportunity cost sebagai ekses kagagalan koordinasi dalam birokrasi.
Temuan tadi, sekali lagi, membuktikan inovasi sebagai kata kunci dalam perbaikan kinerja organisasi publik di era desentralisasi. Bagi keperluan lokasi investasi yang tak saja kondusif tapi juga kompetitif, misalnya, keberhasilan menyelesaikan sumbatan adalah satu hal, sebagai tugas standar pemerintah mana pun. Namun yang lebih dibutuhkan hari-hari ini adalah reformasi pada tingkat lanjut, di mana efisiensi pelayanan dan iklim bisnis kompetitif jadi ukuran elementer.
Namun realitas pahitnya di Indonesia, tak semua pemda menyadari arah perkembangan ini. Karakter kepemimpinan Kepala Daerah memainkan peran dan tanggung jawab maha-penting. Birokrasi tidak mungkin mereformasi dirinya, selain lantaran tak berkewenangan melakukannya, juga justru merasa telah diuntungkan (vested interest) dalam situasi lama. Sejauh ini, mesti diakui, sistem pilkadal belum terbukti menghasilkan Kepala Daerah yang memenuhi kualifikasi karakter kepemimpinan yang berkomitmen kuat bagi perubahan pelayanan publik.
Setelah sedekade kita belajar dan bereksperimentasi dengan sistem baru desentralisasi (fase transisi), seharusnya di fase konsolidasi ini mulai mengedepan aneka inovasi signifikan (advance). Sayangnya, cara pandang dan praktik pemerintahan masih mewarisi pola lama, di mana birokrasi bekerja dalam kultur kekuasaan (power culture) dan berorientasi kepentinganya sendiri ketimbang bergeser ke kultur pelayanan (service culture) bagi masyarakat, termasuk dunia usaha. 
Hari-hari ini para pengamat otonomi boleh jadi gamang menerka rute baru pasca-transisi ini: apakah menuju ke fase konsolidasi atau justru terjebak dalam lorong tiada ujung transisi, bahkan melangkah mundur ke titik sentralisasi lantaran desakan rakyat yang tak merasakan manfaat riil otonomi. Suatu nota keras bagi kita semua, terutama para penyelenggara pemerintahan. Khusus di tahun 2010, bola berada di tangan pemda sendiri.
2.3   Maslah – Masalah Birokrasi Saat Ini
Inefisiensi, Nepotisme, dan Korupsi
Banyak orang beranggapan birokrasi sama dengan inefisiensi organisasi. Gejala-gejala atau petunjuk adanya birokrasi antara lain seperti terlalu percaya kepada preseden, kurang inisiatif, penundaan, banyak formulir, serta duplikasi usaha dan departementalisme.Korupsi dan nepotisme biasanya terdapat pada setiap aktivitas birokrasi dan kebanyakan terjadi di negara sedang berkembang karena memang sedang giat-giatnya membangun.. Korupsi tidak begitu saja terjadi tapi pasti ada penyebabnya seperti berlakunya kewajiban-kewajiban tradisional kepada keluarga, faktor ekonomi, sifat demonstration effect, dan sebagainya sehingga dampak korupsi jelas merugikan masyarakat dan pemerintah.
Besarnya Aparat Birokrasi dan Luasnya Tugas Pemerintahan
Gejala umum yang terjadi di negara sedang berkembang termasuk Indonesia adalah besarnya aparatur birokrasi tetapi kurang memiliki keahlian yang memadai, bekerja kurang produktif dan tidak efisien. Sebenarnya luasnya tugas birokrasi pada pemerintah sebagai hal yang wajar, hanya perlu diimbangi dengan kemampuan yang memadai dari aparatur birokrasi. Sektor swasta juga belum banyak berperan dalam kegiatan pembangunan sehingga peran pemerintah lebih dominan.


BAGIAN KETIGA : MASA DEPAN BIROKRASI
Bab. III
Perubahan Birokrasi
2. 1 Aspek – Aspek Reformasi Birokrasi
Reformasi birokrasi menjadi usaha mendesak mengingat implikasinya yang begituluas bagi masyarakat dan negara. Perlu usaha-usaha serius agar pembaharuan birokrasimenjadi lancar dan berkelanjutan. Beberapa poin berikut ini adalah langkah-langkah yangperlu ditempuh untuk menuju reformasi birokrasi.
Langkah internal:
1. Meluruskan orientasi
Reformasi birokrasi harus berorientasi pada demokratisasi dan bukan pada kekuasaan. Perubahan birokrasi harus mengarah pada amanah rakyat karena reformasi birokras harus bermuara pada pelayanan masyarakat.
2. Memperkuat komitmen
Tekad birokrat untuk berubah harus ditumbuhkan. Ini prasyarat penting, karena tanpa disertai tekad yang kuat dari birokrat untuk berubah maka reformasi birokrasi akan menghadapi banyak kendala. Untuk memperkuat tekad perubahan di kalangan birokrat perlu ada stimulus, seperti peningkatan kesejahteraan, tetapi pada saat yang sama tidak memberikan ampun bagi mereka yang membuat kesalahan atau bekerja tidak benar.
3. Membangun kultur baru
Kultur birokrasi kita begitu buruk, konotasi negatif seperti mekanisme dan prosedurkerja berbelit -belit dan penyalahgunaan status perlu diubah. Sebagai gantinya,dilakukan pembenahan kultur dan etika birokrasi dengan konsep transparansi,melayani secara terbuka, serta jelas kode etiknya.
4.Rasionalisasi
Struktur kelembagaan birokrasi cenderung gemuk dan tidak efisien. Rasionalisasi kelembagaan dan personalia menjadi penting dilakukan agar birokrasi menjadi ramping dan lincah dalam menyelesaikan permasalahan serta dalam menyesuaikan dengan perubahan-perubahan yang terjadi di masyarakat, termasuk kemajuan teknologi informasi.
5. Memperkuat payung hukum
Upaya reformasi birokrasi perlu dilandasi dengan aturan hukum yang jelas. Aturan hukum yang jelas bisa menjadi koridor dalam menjalankan perubahan- perubahan .
6. Peningkatan kualitas Sumber Daya Manusia
Semua upaya reformasi birokrasi tidak akan memberikan hasil yang optimal tanpa disertai sumber daya manusia yang handal dan profesional. Oleh karena itu untuk mendapatkan sumber daya manusia (SDM) yang memadai diperlukan penataan dan sistem rekrutmen kepegawaian, sistem penggajian, pelaksanaan pelatihan, dan peningkatan kesejahteraan.
7. Reformasi birokrasi dalam konteks pelaksanaan otonomi daerah perlu dilakukan:
a)   Pelaksanaan otonomi daerah menuntut pembagian sumber daya yang memadai. Karena selama ini pendapatan keuangan negara ditarik ke pusat, sekarang sudah dimulai dan harus terus dilakukan distribusi lokal. Karena terdapat kesenjangan dalam sumber daya lokal, maka power sharing mudah dilakukan tapi reventtesharing lebih sulit dilakukan.
b)   Untuk memenuhi otonomi, perlu kesiapan daerah untuk diberdayakan, karena banyak urusan negara yang perlu diserahkan ke daerah. Kecenderungan swasta berperan sebagai pemain utama, tentu memberi dampak kompetisi berdasarkan profesionalitas.
Langkah eksternal:
1. Komitmen dan keteladanan elit politik
Reformasi birokrasi merupakan pekerjaan besar karena menyangkut sistem besar negara yang mengalami tradisi buruk untuk kurun yang cukup lama. Untuk memutus tradisi lama dan menciptakan tatanan dan tradisi baru, perlu kepemimpinan yang kuat dan yang patut diteladani. Kepemimpinan yang kuat berarti hadirnya pemimpinpemimpin yang berani dan tegas dalam membuat keputusan. Sedangkan keteladanan adalah keberanian memberikan contoh kepada bawahan dan masyarakat.
2. Pengawasan masyarakat
Reformasi birokrasi akan berdampak langsung pada masyarakat, karena peran birokrasi yang utama adalah memberikan pelayanan kepada masyarakat. Pada tataran ini masyarakat dapat dilibatkan untuk mengawasi kinerja birokrasi
2.2   Tantangn – Tantangan Pelaksanaan Birokrasi Ideal
Teka-teki politik menjadi sangat penting karena rakyat ingin segera tahu siapa saja yang akan menjabat sebagai menteri baru yang akan bekerja untuk membawa perbaikan bagi negara dan rakyat Indonesia dalam lima tahun mendatang. Harapan rakyat adalah para pejabat tinggi tersebut perlu mempunyai kemampuan dan pengalaman yang cukup di bidang yang menjadi tugas kementerian yang mereka pimpin sehingga menteri - menteri tersebut berhasil dalam program-program mereka. Keberhasilan menteri-menteri tersebut juga keberhasilan KIB II yang juga berarti keberhasilan pemerintahan SBY. Namun, yang lebih penting bagi rakyat adalah semakin membaiknya penyelenggaraan pemerintahan yang akan berdampak pada membaiknya kehidupan rakyat. Karena Presiden SBY mempunyai hak prerogatif dalam menentukan menteri-menteri, ketepatan SBY dalam memilih menterimenteri adalah sangat penting.
Memang banyak sekali pertimbangan yang harus diperhatikan SBY dalam memilih menterinya, namun yang paling penting untuk membuat kabinet sukses adalah kapabilitas para menteri. Karena itu, pengumuman kabinet mendapat perhatian yang besar.Meskipun nama-nama calon menteri sudah diberitakan secara luas oleh media massa sebelumnya, rakyat memerlukan kepastian siapa saja yang akan duduk dalam kabinet tersebut. Yang tidak kalah pentingnya dalam teka-teki politik tersebut adalah kemungkinan bergabungnya PDI Perjuangan (PDIP) ke dalam koalisi pemerintah. Spekulasi ini berkembang luas di masyarakat karena pemberitaan media massa yang intensif mengenai masalah ini. Di satu pihak ada beberapa tokoh PDIP yang secara terangterangan menginginkan PDIP bergabung dengan koalisi pemerintah.
Di pihak lain Megawati tidak pernah setuju untuk bergabung dengan koalisi pemerintah.Yang hebatnya lagi, banyak berita yang disampaikan oleh media massa bahwa Presiden SBY sengaja memperpanjang waktu pemanggilan calon menteri dan penundaan pengumuman kabinet baru karena menunggu sikap Megawati. Namun, sampai detik terakhir tidak ada perubahan sikap Megawati sehingga kabinet baru diumumkan tanpa memasukkan kader-kader PDIP ke dalam koalisi pemerintah.Susunan KIB II menunjukkan bahwa pemerintahan SBY didukung oleh enam partai yang bergabung dalam koalisi pemerintah. Koalisi ini menguasai 75,6% suara di DPR, sedangkan partai-partai yang berada di luar koalisi pemerintah mempunyai kursi DPR sebesar 24,4%. Hal ini komposisi yang cukup ideal di dalam sistem presidensial karena ada partaipartai yang menjadi penyeimbang bagi koalisi pemerintah di dalam DPR.
Rakyat Indonesia patut berterima kasih kepada Ketua Umum PDIP Megawati karena sikapnya yang mempertahankan PDIP sebagai partai penyeimbang terhadap koalisi pemerintah. Partaipartai yang menjalankan peran oposisi tersebut mempunyai arti yang amat penting dalam demokrasi. Bisa dikatakan bahwa tidak ada demokrasi bila tidak ada partai oposisi.  Dalam lima tahun mendatang koalisi pemerintah diharapkan bisa lebih kompak, kebijakan pemerintah tidak ditentang anggotaanggota DPR yang berasal dari koalisi pemerintah. Hal ini hanya dapat tercapai bila setiap kebijakan pemerintah yang akan diambil harus dibicarakan terlebih dulu oleh pimpinan partai yang tergabung dalam koalisi. Dengan demikian, kebijakan pemerintah adalah hasil kesepakatan semua partai yang tergabung dalam koalisi.
Debat antara kader-kader partai yang tergabung dalam koalisi pemerintah bisa terjadi di sini untuk mencapai keputusan terbaik yang bisa dijadikan kebijakan pemerintah. Kesepakatan ini perlu diketahui oleh semua anggota DPR yang berasal dari partai-partai koalisi tersebut sehingga dapat melaksanakannya dalam rapat-rapat DPR. Arti penting koalisi dapat terlihat di sini. Anggota-anggota DPR yang berada di luar koalisi pemerintah dituntut untuk mengkritisi kebijakan-kebijakan pemerintah, sebaliknya anggota-anggota DPR yang berasal dari koalisi pemerintah memberikan argumentasi yang masuk akal dari kebijakan pemerintah.
Tentu saja kedua belah pihak bertindak atas dasar kepentingan rakyat dan berdebat tentang cara-cara yang paling baik dalam memajukan negara dan rakyat. Idealnya, rapat-rapat di DPR bisa mencapai titik temu yakni kebijakan yang terbaik yang didukung semua pihak. Namun bila tidak, voting terpaksa digunakan. Penunjukan Gamawan Fauzi sebagai Menteri Dalam Negeri (Mendagri) adalah sebuah kejutan karena untuk pertama kali sejak Orde Baru seorang pejabat sipil diangkat dalam jabatan tersebut. Biasanya jabatan Mendagri disediakan bagi pejabat militer.
Penunjukan Gamawan Fauzi sebagai menteri memang tidak terlalu mengejutkan karena dia telah terlihat berperan besar pada waktu deklarasi pasangan SBY-Boediono di Bandung sebelum Pemilihan Presiden (Pilpres) 2009. Mendagri Gamawan Fauzi menghadapi tantanganbesaruntuk mengevaluasi pelaksanaan pemilihan umum kepala daerah (pilkada) yang telah berlangsung selama empat tahun.  Banyak sekali kritik dan masalah yang dihasilkan oleh pelaksanaan pilkada. Di samping biaya yang besar dan politik uang yang merajalela, pilkada juga menyita banyak waktu semua pihak padahal sebagian kepala daerah yang dihasilkan oleh pilkada bukanlah kepala daerah yang ideal untuk memimpin dan membawa rakyat ke arah kemakmuran.
Perlu dipikirkan langkah-langkah perbaikan atau alternatif yang lebih baik. Terkait erat dengan pilkada adalah status gubernur. Mendagri Gamawan Fauzi sudah lama memikirkan masalah status gubernur ini karena beliau sendiri mengalami hal tersebut. Otonomi daerah yang ditekankan pada kabupaten/ kota menyebabkan peranan gubernur menjadi tidak jelas.Karena itu, gubernur sering kali diabaikan oleh para bupati/wali kota karena tidak ada lagi hubungan hierarkis di antara mereka. Status provinsi dalam era otonomi daerah sekarang ini juga perlu dikaji secara lebih intensif oleh Mendagri Gamawan Fauzi.
Pada tataran yang lebih pragmatis, bidang substansial reformasi administrasi di manapun yang paling mendasar adalah keterkaitannya dengan out-put dan outcome ekonomi di samping bidangbidang lain. Peningkatan kinerja pelayanan publik di semua lini sektor pun adalah halyang utama. Untuk itu, pembenahan birokrasi harus diintegrasikan dengan tujuan utama mengembang kan negara dengan memajukan sektor ekonominya. Intinya, apa pun sektor yang dikembangkan SBYBoediono harus terfokus pada leading sector. Pemilihan leading sector oleh SBY-Boediono membutuhkan sekelompok pemikir yang menjadi prasyarat bagi keberhasilan reformasi yang disebut sebagai think-tank.
Pengembangan leading sector memerlukan indikator capaian, bahkan termasuk dimensi waktu yang diinginkan. Dari sini kemudian dikaitkan dengan birokrasi yang akan mewujudkan arah capaian dari leading sectortersebut. Terdapat tiga pola integrasi dengan pembenahan birokrasi yang di-harapkan di sini. Pertamaadalah pembenahan birokrasi yang terkait langsung mendukung keberhasilan leading sector.Kedua, pembenahan birokrasi yang merupakan rangkaian tidak langsung mendukung leading sector.Ketiga, pembenahan birokrasi instrumental yang harus dituntaskan segera menyangkut pelayanan publik dasar.
Dari sini, komunikasi antara presiden dan wakil presiden beserta para menterinya menjadi penentu efektivitas dari integrasi pembenahan birokrasi RI dengan peningkatan kinerja pemerintahan kabinet mendatang. Kita tunggu, apakah pemerintah mendatang akan sejalan dengan visi keberhasilan mendongkrak leading sector?
Bab IV
Tantangan Birokrasi Masa Depan
4.1 Dampak Pengaruh Internal ( Dalam Negeri )
4.1. 1 Budaya Lokal
Sesungguhnya, budaya lokal yang ada di Indonesia bisa menjadi aset pariwisata yang tak ternilai harganya. Dari seni budaya sampai budaya keramahan yang tergambar pada masyarakat Indonesia.  Peluang masuknya budaya asing ke Indonesia bisa menjadi ”kecelakaan” bagi masyarakat yang tidak bisa menilai dan membedakan mana yang harus di ambil atau tidak.
Budaya lokal senantiasa akan bertahan (lestari) apabila masyarakatnya tidak membiarkan budaya (lokal)-nya itu tidak tertindas.Tantangan yang justru dihadapi adalah sampai seberapa jauh kita mampu memadukan perubahan dengan kebudayaan itu? Namun demikian, maksud utamanya adalah bukan dengan menolak kebudayaan global yang sedang mendunia. Di sini dibutuhkan pemahaman dan pengertian kita untuk menerjemahkan perubahan itu sehingga tidak menimbulkan distorsi bagi kepribadian dan kebudayaan yang menggejala. Kekuatannya justru terletak pada diri kita sendiri bahwa apa yang akan kita ambil dan maknai dari perubahan itu, dan seberapa mampukah kita menerjemahkannya ke dalam kebudayaan kita.
Atribut-atribut budaya lokal seolah-olah terancam akibat budaya global seperti masuknya berbagai komoditas global, pengaruh dan tindakan yang dipancarluaskan oleh berbagai media penyampai seperti TV dan media cetak lainnya. Dalam pada itu, situasi dan kondisi dimana budaya lokal akan dipertaruhkan di tengah kancah kebudayaan global, sepertinya melahirkan kontroversi dan paradigma yang berbeda dalam memandang budaya global itu. Justru dengan begitu, kita dapat memaknai bahwa perubahan itu akan senantiasa terjadi dan tanpa kita sadari akan meresapi diri kita dan masuk ke dalam pola perilaku dan tindakan kita. Oleh karenanya, kebudayaan akan semakin mantap, bertahan dan lestari. Adakah kita berupaya memajukan kebudayaan kita itu, atau malah membiarkan budaya kita itu terlindas oleh budaya global? Dan sampai sejauh manakah pengakuan kita terhadap kebudayaan kita itu? Oleh karenanya, penting dilakukan kembali kaji ulang terhadap kepribadian kita yakni bukan secara langsung melontarkan bahwa kebudayaan kita itu adalah tidak maju, tidak modern dan miskin dan terbelakang. Jika demikian yang terjadi maka kebudayaan kita itu akan mengalami pendangkalan makna akibat erosi pemerkayaan dan pemajuan budaya local itu.
Kearifan nilai-nilai sosial budaya lokal dalam aspek kegotongroyongan dan kes­wadayaan patut didayagunakan, diles­tarikan, dan dikem­bangkan. Untuk Apa? Agar men­jadi potensi efek­tif dalam pelak­sanaan pem­berdayaan masyarakat.
4.1. 2 Perubahan Poltik
Politik Indonesia masa depan ditentukan tidak oleh satu kekuatan politik saja (partai politik), tapi interaksi antarkekuatan politik yang ada. Dalam proses kebijakan politik formal, memang, militer tidak punya keterlibatan langsung, tetapi ia masih bisa memengaruhi jalannya politik lokal maupun nasional. Apalagi bila ternyata kalangan politikus sipil lemah dan kontraproduktif satu sama lain. Di masa transisi, tatkala eksperimentasi politik sipil mengedepan, peran militer yang dulu merambah ke wilayah politik direduksi sedemikian rupa. Namun, apabila eksperimentasi itu gagal, padahal soliditas militer tetap terjaga maka tidak menutup kemungkinan militer akan kembali
memainkan pengaruhnya di wilayah politik.
4.1. 3 Perkembangan Penduduk
Jumlah penduduk pada suatu negara selalu mengalami perubahan yang disebabkan oleh faktor kelahiran, kematian dan migrasi atau perpindahan penduduk. Perubahan keadaan penduduk tersebut dinamakan dinamika penduduk. Dinamika atau perubahan penduduk cenderung kepada pertumbuhan. Pertumbuhan penduduk ialah perkembangan jumlah penduduk suatu daerah atau negara. Jumlah penduduk suatu negara dapat diketahui melalui sensus, registrasi dan survei penduduk. Jumlah penduduk Indonesia sejak sensus pertama sampai dengan sensus terakhir jumlahnya terus bertambah. Sensus pertama dilaksanakan pada tahun 1930 oleh pemerintah Hindia Belanda. Sedangkan sensus yang pernah dilakukan oleh pemerintah Indonesia adalah pada tahun 1961, 1971, 1980, 1990 dan yang terakhir 2000. Sensus di Indonesia dilaksanakan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) dan waktu pelaksanaan sensus di Indonesia diadakan sepuluh tahun sekali.
Masyarakat yang kuat terus-menerus memperbaiki diri. Masyarakat demikian cenderung memelihara kepekaan dalam mengenali dirinya, pertama sebagai pencapaian, setelah itu sebagai sisa-sisa masa lalu yang harus diperbaiki dan akhirnya, sebagai hasil evaluasi terhadap pencapaian masa lalu beserta hasil penolakan terhadapnya, dalam kesadaran yang lebih tinggi tingkatnya. Beberapa faktor menguatkan kelompok masyarakat termasuk norma-norma dan adat istiadat, beberapa lagi membongkarnya termasuk harapan untuk melakukan perbaikan. Ada proses perubahan yang terjadi secara kebetulan, tetapi suatu rencana perubahan dapat dibuat dengan sengaja oleh para pejuang atau penyelenggara perubahan. Di pihak yang lain adat istiadat dan norma-norma dapat masuk dalam jajaran penghambat perubahan, sedangkan cita-cita, harapan dan rencana ke depan menjadi perangsang untuk mempercepatnya. Ancaman serta pengaruh dari luar dapat pula menghambat atau memperlancar suatu perubahan. Kemudian suatu tindakan selalu didahului oleh putusan strategis yang telah masak dipertimbangkan sebelumnya. Tindakan strategis agaknya menjadi jalan keluar evolusioner dalam kemapanan suatu masyaraka
4.1. 4 Perubahan Tingkat Pendidikan
Kinerja tenaga kependidikan di lingkungan pemerintah daerah masih banyak mengecewakan stake holders, antara lain karena masih rendahnya kualitas layanan yang mereka berikan.untuk memperbaikinya, perlu dilakukan reformasi birokrasi pendidikan. Beberapa aspek yang perlu direformasi yaitu :
1.       Reformasi motivasi : dari asal kerja menjadi ibadah dan amanah.
2.       Reformasi pemimpin : dari pejabat menjadi kaum profesional.
3.       Reformasi paradigma : dari dilayani menjadi melayani.
4.       Reformasi pengelolaan : dari birokrasi menjadi ’korporasi’ profesional.
5.       Reformasi hasil kerja : dari asal selesai menjadi orientasi mutu.
6.       Reformasi pelayanan : dari dipersulit menjadi dipermudah dan memuaskan.
7.       Reformasi cara kerja : dari lambat menjadi disiplin, cepat dan segera.
8.       Reformasi budaya kerja : dari ‘saling bersaing negatif’ menjadi sinergis.
9.       Reformasi pelaporan : dari semu menjadi jujur, transparan dan akuntabel.
10.   Reformasi tampilan : dari tidak ramah menjadi ramah dan menyenangkan.
Akhirnya hakikat administrasi pendidikan sebagai tata kelola yang amanah (a good educational governance) dapat berjalan. Kinerja yang dikategorikan Good Governance dilakukan berdasarkan prinsip-prinsip berikut :
1.       Akuntabilitas (accountability) : kewajiban untuk memberikan pertanggungjawaban atau menjawab dan menerangkan kinerja dan tindakan seseorang/pimpinan atau suatu unit organisasi kepada pihak yang memiliki hak atau berwenang meminta pertanggugjawaban. Meliputi akuntabilitas publik, politik, keuangan, hukum, dan sebagainya.
2.       Transparansi (transparancy) : Transparansi sama dengan polos, apa adanya, tidak bohong, tidak curang, jujur, dan terbuka terhadap publik tentang apa yang dikerjakan.
3.       Keterbukaan (openess) : pemberian informasi secara terbuka, terbuka untuk open free suggestion, dan terbuka terhadap kritik sebagai partisipasi untuk perbaikan.
4.       Aturan Hukum (Rule of Law) : keputusan, kebijakan dilakukan berdasar hukum (peraturan yang sah).
5.       Fairness (keadilan) : adanya jaminan perlakuan yang adil/perlakuan kesetaraan kepada masyarakat dalam pelayanan publik dan tidak ada perlakukan yang melanggar HAM.
6.       Partisipasi (partisipation) : setiap warga negara berpartisipasi dalam pengambilan keputusan, baik secara langsung maupun melalui institusi yang mewakili kepentingannya.
7.       Responsif : responsif dan cepat tanggap terhadap aspirasi masyarakat.
8.       Berorientasi kesepakatan (consessus orientation) : perantara kepentingan yang berbeda untuk mendapatkan pilihan terbaik bagi kepentingan yang lebih luas dalam hal kebijakan maupun prosedur kerja.
9.       Efektif dan efisien : menghasilkan sesuai dengan apa yang telah digariskan dengan menggunakan sumber-sumber yang tersedia dengan hasilnya yang sebaik mungkin
10.   Visi strategis (Strategic vision) : mempunyai perspektif good governance dan pengembangan sumber daya manusia yang luas dan jauh ke depan sejalan dengan apa yang diperlukan untuk pembangunan.
4.1. 5 Perubahan atau Kecenderungan Ekonomi
Indonesia harus membangun birokrasinya terlebih dahulu sebelum pembangunan ekonomi dan politik, karena birokrasi merupakan kekuatan utama untuk melaksanakan pembangunan-pembangunan lainnya. Dalam upaya membangun birokrasi Indonesia yang modern, acuan yang digunakan adalah model birokrasi legal-rasional. Namun dalam pembangunan selanjutnya, tipe birokrasi legal-rasional yang dihasilkan berbeda dengan apa yang dikonsepsikan Weber, karena masuknya unsur-unsur birokrasi tradisional-patrimonial. Pengaruh sejarah dan kondisi sosial budaya masyarakat Indonesia ternyata menghasilkan corak birokrasi yang khas Indonesia, di mana unsur-unsur tradisional, modern dan kepentingan-kepentingan politik praktis membaur di dalamnya.
Birokrasi pada masa Orde Baru memainkan peranan yang sangat sentral dalam proses pembangunan ekonomi sehingga terkesan “meninggalkan” unsur-unsur lain yang seharusnya terlibat dalam setiap tahap pembangunan. Karena dominannya peran birokrasi maka partisipasi masyarakat terasa kurang berakar atau menjadi “pelengkap” saja dari kiprah birokrasi dalam pembangunan, dan segala sesuatunya terkesan birokratis (lamban, kaku, tertutup). Sehubungan dengan itu maka desakan untuk semakin mengupayakan debirokratisasi, deregulasi politik dan demokrasi ekonomi semakin kuat.
4.2   Dampak Pengaruh Eksternal
4.2. 1 Teknologi Informasi
Beberapa tahun terakhir ini kita menyaksikan tanda-tanda awal hadirnya era informasi. Suatu era yang oleh sebagian futurist dianggap sebagai hasil dari revolusi teknologi gelombang ketiga, yang mentransformasikan masyarakat industri menjadi masyarakat informasi. Transformasi gelombang ketiga ini dimotori oleh teknologi informasi.
Serupa dengan peran mesin uap pada revolusi industri 200 tahun yang lalu, saat ini teknologi informasi telah menunjukkan kontribusinya pada banyak aspek kehidupan. Dalam dunia manufaktur, teknologi informasi memungkinkan pabrik-pabrik menghasilkan berbagai produk kebutuhan manusia secara lebih efisien. Di lain pihak, dalam dunia perbankan, sulit dibayangkan sebuah bank yang beroperasi tanpa bantuan teknologi informasi untuk pengelolaan sistem informasi nasabahnya.
Seperti yang terjadi pada revolusi industri, ketika masyarakat agraris bertransformasi menjadi masyarakat industri, transformasi kali ini juga akan menyebabkan terjadinya perubahan pada banyak aktivitas manusia. Pengaruh ini, cepat atau lambat, pasti akan kita rasakan sebagai suatu konsekuensi logis dari pilihan yang kita ambil untuk membuka diri terhadap masyarakat global. Walaupun demikian investasi untuk menerapkan dan memanfaatkannya harus dilakukan secara bijaksana, sehingga sumber daya yang terbatas tidak dialokasikan secara sia-sia dan membabi buta, serta sejauh mungkin meredam dampak negatif, sambil menuai dampak positif sebesar-besarnya.
Mungkin Indonesia merupakan salah satu dari sedikit negara di dunia ini yang tidak atau belum memiliki strategi nasional dalam teknologi informasi. Bahkan Departemen yang mengurusi telekomunikasi, infrastruktur utama teknologi informasi, menjadi rancu posisinya dalam struktur kabinet yang sekarang. Membiarkan teknologi telekomunikasi dan informasi, yang nilai bisnisnya miliaran dolar, berkembang tanpa arahan nasional dapat menimbulkan banyak konsekuensi negatif di kemudian hari.
Dalam makalah ini kami akan menguraikan peran positif yang seyogyanya diambil dari pemanfaatan teknologi informasi dalam menunjang perekonomian Indonesia menuju ke ekonomi global di abad ke-21.
berikut ini direkomendasikan beberapa kebijaksanaan yang dapat diambil dalam jangka pendek.
1.       Jalur komunikasi antara pemerintah dengan masyarakat yang dilayani hendaknya diperpendek, bahkan apabila mungkin langsung dari masyarakat kepada eselon I atau II. Perubahan struktur birokrasi menjadi lebih flat dapat dilakukan apabila aspek pelayanan sejauh mungkin diotomasi. Anggaran yang dapat dihemat karena perubahan ini dapat direalokasikan untuk membiayai “social safety net” yang dibutuhkan akibat tidak dapat dipekerjakannya sebagian petugas lama.
2.       Penyusunan kebijaksanaan dan regulasi dalam telekomunikasi, informasi, dan komputasi, diarahkan untuk mendorong terbukanya akses pasar untuk produsen domestik. Sedangkan jalur komunikasi dari produsen global ke konsumen domestik hendaknya memperoleh disinsentif, misalnya melalui diferensiasi harga, pajak, dsb.
3.       Pemerintah, melalui perguruan-perguruan tinggi, mendorong tumbuhnya wirausahawan muda. Misalnya dengan menyediakan “venture capital” untuk pengembangan inkubator bisnis dan teknologi di lingkungan perguruan tinggi. Produk yang dihasilkan melalui inkubator ini hendaknya berorientasi ke pasar global, atau setidak-tidaknya mampu bersaing dengan produk impor tanpa proteksi pada pasar domestik.

4.2. 2 Politik Ekonomi Global ( Perdagangan Bebas )
DI tengah gempuran hebat produk China ke Tanah Air, Indonesia menegaskan tetap ikut memenuhi komitmen terlibat dalam Perjanjian Perdagangan Bebas ASEAN dan China mulai 1 Januari 2010. Itu berarti hanya dalam waktu sepuluh hari lagi, pasar kita bakal kian dikepung oleh produk China, baik tekstil, buah-buahan, bumbu masak, maupun mainan anak-anak. Lalu, apa salahnya dengan produk China? Di sinilah persoalannya. Sudah bukan rahasia lagi, selama ini mutu produk China yang membanjiri pasar kita tidak jauh berbeda dengan produk dalam negeri, bahkan lebih buruk.
Produk China juga masih diragukan keamanannya bagi kesehatan. Selain itu, barang dari 'Negeri Tirai Bambu' itu kelewat murah sehingga produk dalam negeri kalah bersaing dan akhirnya mati. Saat ini hampir semua jenis produk China melenggang bebas masuk ke negeri ini. Padahal, pada era 1970-an produk China yang diimpor hanya produk yang tidak bisa dibuat di Indonesia. Dengan demikian, perjanjian perdagangan bebas ASEAN-China amat jelas bakal lebih menguntungkan China daripada negara-negara ASEAN, dan sangat jelas terutama sangat merugikan Indonesia. Data resmi dari Badan Pusat Statistik menunjukkan saat ini saja ekspor kita ke China hanya 5,91%, sedangkan impornya mencapai 8,55%. Kelak, ketika perdagangan bebas sudah dijalankan, diprediksi ekspor kita hanya naik 2,29% menjadi 8,20%. Tapi, sebaliknya impor kita dari China bakal naik 2,81% menjadi 11,37%.
Merebaknya pesimisme itu lebih disebabkan belum mantapnya industri dalam negeri. Industri kita masih dibebani rupa-rupa masalah yang menyebabkan daya saing kita rendah. Infrastruktur yang buruk, suku bunga bank yang masih tinggi, kurs rupiah yang tidak stabil, serta birokrasi yang berbelit-belit dan korup, semua itu menyebabkan produk Indonesia tidak bisa berbicara banyak. Kita tidak punya basis yang kuat masuk ke pasar China. Kita juga tidak punya daya tahan yang hebat untuk membendung serbuan produk China. Sejujurnya Indonesia memaksakan diri masuk implementasi perdagangan bebas ASEAN-China.
4.2. 3 Perubahan Iklim                                                           
Birokrasi Ramah Lingkungan
Di tingkat negara, fenomena akan perubahan sosial juga terjadi. Dimana yang berperan besar dalam kampanye perubahan iklim tidak hanya masyarakat serta aktivis lingkungan, namun kini juga melibatkan pemerintah.Hal ini menanda dimana birokrasi kini telah berubah dari penghambat dukungan
terhadap isu-isu lingkungan menjadi alat untuk mengkampanyekan lingkungan. Walaupun kadang dalam permasalahan lingkungan lain – diluar perubahan iklim –birokrasi tetap saja menyulitkan. Hal ini ditandai dengan giatnya pemerintahan tingkat eksekutif dan mulai terbentuknya komitmen akan penyelesaian setiap permasalahan lingkungan. Walaupun kadang masih menemukan pertentangan dengan beberapa organisasi lingkungan yang masih menganggap bahwa pemerintahan secara umum – khususnya negara-negara maju masih ragu dalam menentukan batasan teknis.Biar bagaimanapun, perubahan yang evolutif ini harus dijaga keberlangsungannya untuk perbaikan sistem pengelolaan alam secara global. Saya rasa tidak sulit untuk   terus mengingatkan pemerintahan, dimanapun di seluruh dunia.
Demi menjaga komitmen yang mulai tumbuh. mengingat isu perubahan iklim yang bersifat menyeluruh, pihak-pihak yang bersebrangan pun akan mudah untuk melibatkan diri didalamnya. Dengan harapan di masa depan, isu mengenai lingkungan akan terus dikategorikan sebagai permasalahan yang penting untuk di bicarakan secara lebih terkonsentrasi dibanding sebelumnya di tingkat internasional.
Sama seperti sebelumnya, pengaruh ini juga tidak bisa terjadi kalau bukan karena konsistensi pergerakan aktivis lingkungan yang terus berkembang dari waktu ke waktu.
Iklim Berubah, Manusia Juga Berubah
Perlu kita ingat bahwa pada dekade sebelumnya, masalah mengenai pengelolaan lingkungan belum menjadi masalah yang benar-benar diperhatikan oleh masyarakat global. Walaupun pada dekade 1980-an kampanye mengenai lingkungan juga marak, namun konteks penyebabnya jelas berbeda dengan yang sekarang. Dimana dahulu kondisi perang Vietnam dan perang dingin yang memaksa perlombaan senjata—terutama nuklir—yang menjadi penyebab, maka kini yang menjadi penyebab adalah akumulasi semua ketidaktepatan pengelolaan lingkungan yang ditandai dengan terjadinya beberapa fenomena lingkungan yang tidak biasa. Serta tidak sesuai dengan apa yang kita pahami tentang lingkungan sebelumnya.
Beberapa sosiolog bermahzab geografi dan ekologi, termasuk E. Huntington menjelaskan dalam bukunya Civilization and Climate[4], bahwa iklim walaupun termasuk faktor statis, juga mempengaruhi manusia, bukan hanya pada soal distribusi kewilayahan dimana terjadi klasifikasi daerah iklim, namun juga dalam hal sosial kemasyarakatan bahkan kebudayaan. Melalui pendapatnya, dapat disimpulkan bahwa kondisi masyarakat secara umum memiliki keterkaitan dan hubungan dengan iklim yang ada. Tanpa disadari, kini bukan hanya iklim yang telah berubah, manusia juga mengalami perubahan. Mulai dari konsepsi sosial mengenai lingkungan itu sendiri, serta kebiasaan sosial yang mulai mengalami pergantian.Sekali lagi, ini juga dimungkinkan dengan adanya konsistensi yang serius dari aktivis lingkungan yang telah membentuk pergerakan sebelumnya.
Isu Pemersatu yang Efektif
Seperti teori sebelumnya yang menyatakan bahwa perubahan iklim tidak hanya merubah keadaan alam disekitar kita, namun juga kondisi kemanusiaan secara sosial kemasyarakatan. Mengacu pada hal tersebut maka perubahan iklim juga perlu dimaknai sebagai sebuah momentum sosial. Momentum sosial akan terjadinya persatuan semua golongan yang berbeda. Apapun diferensiasi etnisnya ataupun stratifikasi profesinya. Hal ini dikarenakan fungsi-fungsi isu perubahan yang begitu efektif di tingkat internasional. Seperti fungsi isu sebagai interseksi penghilang batasan ideologis serta bentuk permasalahannya yang umum, mampu menarik beberapa pihak yang berbeda latar belakang –sosial, budaya, dan ekonomi – untuk bergabung membentuk sikap yang sama.
Dalam konteks lokal, Indonesia merupakan sebuah negara dengan sifat yang begitu multikultur dan sangat rentan akan perpecahan, juga membutuhkan isu pemersatu.Maka isu mengenai perubahan iklim ini, dapat dijadikan sebagai sebuah momentum persatuan bangsa sekaligus memacu kebangkitan generasi kepemudaan yang ada.Seperti pergerakan aktivis kepemudaan lintasnegara di bidang lingkungan yang juga berkembang pesat.
Perubahan Iklim, Sebuah Momentum Kebangkitan
Perlu diingat, bahwa posisi Indonesia dalam konvensi tentang isu lingkungan ini cukup sentral dan penting. Dimana secara ekologis, Indonesia serta Brazil dianggap sebagai beberapa negara yang mampu menjadi ‘aktor’ penyelamat dalam isu lingkungan yang ada.Berdasarkan bekal pengetahuan dan keadaan ekologis yang memadai, seharusnya pemerintahan Indonesia kini harus memperbaiki seluruh tindak pengelolaan dan kebijakan pengawasan lingkungan. Agar Indonesia mampu secara benar, mendukung dan dapat memberi contoh berkaitan resolusi perubahan iklim yang terjadi saat ini.
Walau mungkin tidak akan berdampak besar, karena mengingat posisi Indonesia yang lemah akhir-akhir ini akibat isu terorisme, yang jelas tindakan reformasi kebijakan lingkungan ini mungkin dapat memberikan inspirasi kepada negara-negara lainnya. Hal ini dimungkinkan, jika saja pemerintahan Indonesia dengan efektif mampu menerjemahkan isu perubahan iklim yang terjadi di tingkat global ke tingkat nasional atau bahkan daerah.Dengan begitu Indonesia dapat bergerak secara multilinial. Akhir kata, pemerintahan serta masyarakat Indonesia – khususnya pemuda – juga harus memantapkan posisinya di mata internasional melalui sumbangan ide dan kampanye efektif terhadap isu perubahan iklim ini.
Dengan modal pengetahuan yang cukup matang dan kondisi ekologis yang sangat menguntungkan, maka tidak sulit jika kemudian Indonesia bisa menjadi negara pelopor sekaligus pemimpin perserikatan negara-negara dalam menghadapi isu perubahan iklim dimasa yang akan datang. Mungkin agak oportunis dan narsistis, namun jika kita bicara tentang lingkungan.Sudah sepatutnya Indonesia bangkit bersatu melepas identitas politis dan ekonomi di internal negara, lalu mengambil bagian di kancah internasional. Karena isu perubahan iklim adalah sebuah momentum kebangkitan. Kebangkitan Indonesia raya. 

Bab V
                                                      PENUTUP

Walaupun sudah banyak inisiatif yang diarahkan untuk melakukan reformasi, fakta empiris menunjukkan hasilnya tidak selamanya menggembirakan. Untuk konteks Indonesia, reformasi administrasi publik nampaknya tidak lebih dari sekedar ‘a passing fad’. Tema tersebut pernah menjadi begitu sentral, dikonsumsi oleh hampir semua kalangan, disuarakan di berbagai fora, dijadikan lahan mobilisasi dukungan massa dan agenda politik, dan akhirnya hilang tak berbekas. Mengapa hal itu terjadi? Persoalannnya terletak pada kesalahan manajemen momentum reformasi. Jauh dari upaya yang sistematis dan terencana, reformasi di tanah air lebih merupakan desakan sesaat. Reformasi juga lebih merupakan kreasi elitis yang tidak memiliki basis dukungan massa dalam arti yang sesungguhnya. Selain itu, sebagaimana dialami negara lain, reformasi adalah persoalan kompleks dengan sejumlah hambatan yang harus dihadapinya. Hambatan tersebut terutama disebabkan oleh keengganan untuk melakukan perubaha
Terlepas dari sindrom tersebut, reformasi tetap harus dilakukan mengingat bobroknya sistem dan struktur administrasi publik. Dengan lokus dan fokus yang begitu luas, reformasi perlu dipersiapkan dan djalankan secara hati-hati. Reformasi juga hanya bisa dijalankan dengan menginkorporasi sejumlah strategi yang pada intinya harus melibatkan semua stakeholders, mulai dari birokrasi hingga masyarakat secara umum. Karenanya, kolegialitas hendaknya ditempatkan pada pusat lingkaran konsentrik reformasi.
Sangat disadari bahwa upaya melakukan reformasi sangat dilematis, kompleks, mahal, dan sulit. Namun tetap ada optimisme untuk menjadikan reformasi sebagai agenda publik yang dirumuskan secara demokratis dan dijalankan secara partisipatif. Harap dicatat bahwa biaya yang harus ditanggung akibat kegagalan reformasi seringkali jauh melampaui biaya akibat absennya reformasi! Karenanya dibutuhkan perencanaan yang matang lengkap dengan sumber daya serta strategi implementasiny

DAFTAR PUSTAKA
1.       Robert Endi Jaweng Jakarta,Otonomi Daerah 2010 dan Inovasi Birokrasi,Harian KONTAN, 2010.  
2.       Eko B. Sulistio, pengantar birokrasi, www. Google. Com, 2009.
3.       Perubahan iklim sebuah momentum kebijakan, www. Google. Com,2010.
4.       Revormasi pendidikan, www. Google.com, 2010
5.       Fauziah rasad, birokrasi bukan hanya renumerasi, www.google. Com, 2010
6.       Prof. Dr. Maswadi Rauf , MA, tantangan cabinet baru, Seputar Indonesia, 22 Oktober 2009
7.       “Pelaksanaan demokrasi di indonesia.” Http://www.edupkn.smansarbg.com/ pelakdemo.html
9.        “rwan prayitno. “Perkembangan dmokrasi di indonesia: Cabaran dan Pengharapan.” Http://www.pas.org.my/kertaskerja/perkembangan_demokrasi_di_indonesia_cabaran_dan_pengharapan.pdf
10.    “Implementasi demokrasi ekonomi di indonesia.” Http://www.damandiri.or.id/file/ buku/subiaktobukukoperasibab1.pdf
11.    “Pelaksanaan demokrasi di indonesia dalam berbagai kurun waktu.” Http://www.e-dukasi.net/mol/mo_full.php?moid=18&fname=ppkn106_04.htm
12.    “Hak - Hak Warga Negara Indonesia.” Http://www.e-dukasi.net/mol/mo_full.php?moid=21&fname=ppkn203_03.htm
13.   Sayfa Auliya Achidsti,“ Birokrasi dalam Konstruksi Sosial Budaya dan Mental Priyayi (Dinamika Administrasi Publik Indonesia )”,Penerbit Andi, 2009
14.    Aditia Eka Permana, Birokrasi Pemerintahan Dengan Hubungan Profesionalisme Kualitas Pelayanan Publik,Posted December 27th, 2008, www.google. com
18.    “Pelaksanaan demokrasi di indonesia.” Http://www.edupkn.smansarbg.com/ pelakdemo.html






RIWAYAT HIDUP SINGKAT


Nama         : Wisda
Alamat       : Jln. S. Alauddin lorong 3 no. 26B
T T L          : Lindu, 18 april 1988
No. HP       : 085299363739
Pendidikan : 1. SD. Inp. 01 aralle ( 1994 – 1995 )
            2.SD. Inp. Lompengang ( 1995 – 2000 )
2. SMP. Neg. 1 Tanete Rilau ( 2000 – 2003 )
3. SMA. Neg. 1 Barru ( 2003 – 2006 )
4. Univ. Muhammadiyah Makassar (2006 – 2010 )
Email         : bachtiarbikkok@yahoo.co.id

Tidak ada komentar:

Posting Komentar