Bab.
I
Pengertan
dan Sejarah Birokrasi
1. 1
Defenisi Birokrasi
·
Demokrasi berasal
dari bahasa Yunani yaitu ‘demos’ artinya rakyat dan ‘kratos/kratein
artinya pemerintahan. Jadi pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat, yang
artinya: pemerintahan di mana rakyat memegang peranan penting Itulah pengertian demokrasi dilihat dari asal katanya.
artinya pemerintahan. Jadi pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat, yang
artinya: pemerintahan di mana rakyat memegang peranan penting Itulah pengertian demokrasi dilihat dari asal katanya.
·
Birokrasi yang dalam
bahasa inggris disebut bureaucracy berasal dari kata bereau ( berarti meja )
dan cratein ( berarti kekuasaan ), maksudnya kekuasaan berada pada orang –
orang di belakang meja.
·
Birokrasi menurut
kamus besar bahasa Indonesia adalah sistem pemerintahan yang dijalankan oleh
pegawai pemerintah karena telah berpegang pada hierarki dan jenjang jabatan.
Atau dalam defenisinya yang lain
birokrasi adalah cara bekerja atau susunan pekerjaan yang serba lamban, serta
menurut tata aturan yang banyak liku – likunya.
·
Lance castle (1976 )
dalam mengamati konteks birokrasi ke indonesiaan di defenisikan sebagai orang –
orang bergaji yang menjalankan fungsi pemerintah, termasuk di dalamnya oara
perwira tentara dalam birokrasi militer.
·
Almond dan Powel
(1966 ) mendefinisikan birokrasi sebagai sekumpulan jabatan dan tugas yang
terorganisir secara formal, yang berkaitan dengan jenjang yang kompleks dan
tunduk pada pembuat peran yang formal.
·
Kal Marx birokrasi adalah alat untuk
kepentingan kelas penguasa atau borjuis ( sehingga birokrasi sianggap sebagai
penyebab patologi social ).
·
Honore De Balza
birokrasi adalah mekanisme raksasa yang dijalankan oleh orang- orang kerdil.
·
Donal Warwick
birokrasi adalah orgnisasi pemerintah yang menjadi tuan dan bukan pelayan
masyarakat.
·
Michael Croizer
birokrasi adalah organisasi yang tidak dapat mengoreksi tingkah lakunya dengan
cara belajar dari kesalahan.
·
Demokrasi, menurut Anwar
Ibrahim, adalah pemberian kebebasan
kepada warga negara, sedangkan kegagalan atau keberhasilan ekonomi menyangkut
sistem yang diterapkan.
·
Dari Wikipedia bahasa
Indonesia, ensiklopedia bebas, Demokrasi adalah bentuk atau mekanisme sistem pemerintahan
suatu negara sebagai upaya mewujudkan kedaulatan rakyat (kekuasaan warganegara)
atas negara untuk dijalankan oleh pemerintah negara tersebut.
·
Max Weber brokrasi
adalah metode organisasi terbaik dengan spesialis tugas, walaupun kemudian
banyak pakar yang mengkritiknya.
1. 2
Sejarah Perkembangan Birokrasi di Indonesia
Sejarah
perkembangan birokrasi di Indonesia mengalami tiga tahap, sebagai berikut :
1. Masa Pra – Kolonial
Pada masa yang
kekuasaan birokrasinya menonjol dari
kerajaan – kerajaanlain adalah masa kerajaan mataram. Raja merupakan pusat
kekuasaan, karena kedudukannya ini maka pemerintahan raja dan semua
keputusannya tidak dapat dibantah dan ia memiliki kekuasaan tak terbatas. Pola
birokrasi yang terjadi pada masa ini kekuasaan dan wewenang yang dimiliki
penguasa dijalankan dengan menguasai bidang – bidang kehidupan masyarakat baik
dengan paksaan, kepatuhan terhadap segala tindakan, dan kemauan penguasa,
karena menganggap sumber kemampuan adalah sesuatu yang berada atau dimiliki
raja, sehingga ukurannya adalah bagaimana bentuk pengabdian masyarakat pada
rajanya.
2. Masa Kololnial
Pada masa colonial
ini kehidupan masyarakat Indonesia dibagi berdasarkan lapisan – lapisan
hierarkis yang berdampak pada diskriminasi dalam semua bidang kehidupan. Pada
masa ini aparatur Negara bukan sebagai pelayan masyarakat tetapi bagaimana
pelayanan yang menguntungkan bagi penguasa. Untuk menghubungkan pihak colonial
dengan dengan rakyat pribumi maka diangkatlah birokrat dari golongan priyayi
yang merupakan cikal bakal lahirnya kelompok terpelajar yang terpengaruh dengan
ethosfeodal, yang cara kerjanya tidak mendasarkan pada orientasi pencapaian
tujuan, yang mestinya dapat mengembangkan profesionalisme dan keahlian sebagai
golongan elite modern tapi mereka malah mewakili bentuk birokrat feudal untuk
kepentingan penguasa.
3. Birokrasi Paska
– Kolonial
Masa
penjajahan yang terlalu lama membuat kondisi tersebut mempengaruhi birokrasi
pemerintahan di Indonesia. Hal ini tercermin dari seleksi kenaikan pangkat,
penerimaan pegawai, sampai pelaksanaan tugas di mana yang di utamakan adalah loyalitas
individu kepada pimpinan dan harus sesuai dengan pimpinan, bukan bagaiman
kepentingan masyarakat diutamakan. Demikian pula pengaruh kerajaan yang pernah
ada dimana aparatur Negara, pejabat negaradianggap sebagai priyayi, serta ada
budaya sungkan terhadap atasan walaupun atasan melakukan penyimpangan. Serta
pembawaan dari birokrat sendiri yang tidak mau dikoreksi dan diganggu gugat
keputusannya seperti halnya para raja
dan penguasa pada masa kerajaan dulu serta birokrat pada masa penjajahan.
BAGIAN KEDUA :
BIROKRASI KINI
Bab. II
Wajah Birokrasi Saat
Ini
2. 1
Perilaku Birokrat Dalam Pelayanan Publik Saat Ini
Salah
satu agenda utama yang dijanjikan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan
jajaran kabinetnya di awal pemerintahan adalah memperbaiki layanan birokrasi
dan karena itu diperlukan reformasi birokrasi. Salah satu agenda utama yang
dijanjikan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan jajaran kabinetnya di
awal pemerintahan adalah memperbaiki layanan birokrasi dan karena itu
diperlukan reformasi birokrasi. Kemacetan lalu lintas birokrasi harus segera
diakhiri, begitu kira-kira pesan sang Presiden. Pertanyaannya, sebegitu
rusakkah layanan birokrasi kita sehingga menjadi target Presiden untuk
diperbaiki? Dan apakah yang dijanjikan tersebut kini sudah terlaksana? Sejarah
birokrasi di Indonesia memang gelap, terutama semasa Orde Baru, yang menjadikan
birokrasi sebagai mesin politik. Imbas dari itu semua, masyarakat harus
membayar ongkos kemahalan. Ketidakpastian waktu, ketidakpastian tarif/biaya,
dan ketidakpastian siapa yang bertanggung jawab adalah beberapa fakta empiris
rusaknya layanan birokrasi. Lebih dari itu, layanan birokrasi justru menjadi
salah satu causa prima terhadap maraknya korupsi dan kolusi. Atas layanan
birokrasi yang buruk itu, sangat wajar jika akhirnya pelayanan publik di
Indonesia pun sulit diakses oleh rakyat miskin, demikian menurut Bank Dunia,
yang dilaporkan dalam World Development Report 2004. Bahkan, masih menurut Bank
Dunia, layanan birokrasi di Indonesia bukan saja sulit diakses oleh rakyat
miskin, tapi juga menjadi salah satu penyebab ekonomi biaya tinggi (high cost
economy), yang kemudian membebani kinerja ekonomi Indonesia. Secara normatif,
upaya pemerintah memperbaiki layanan birokrasi sudah dilakukan.
Setidak-tidaknya, Kantor Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara telah
mengeluarkan SK Nomor KEP/26/M.PAN/2/2004 tentang Peningkatan Pelayanan Publik.
Presiden juga mencanangkan setiap 14 September sebagai Hari Pelanggan Nasional.
Sayangnya, hingga detik ini, perbaikan layanan birokrasi yang dilakukan oleh
Presiden Susilo hanya sebatas normatif. Sebab, secara empiris membuktikan
sebaliknya. Masyarakat konsumen masih sering menjadi korban atas
ketidakmanusiawian dan ketidakprofesionalan layanan birokrasi.
Memang,
upaya Presiden Susilo membuat SMS center 4949 patut mendapatkan apresiasi.
Namun, nyatanya SMS center 4949 tidak berbeda jauh dengan Kotak Pos 5000, ala
Presiden Soeharto dulu. Tindak lanjut atas informasi yang masuk ke SMS center
4949 tidak pernah jelas, dan publik tidak pernah mengetahui langkah konkret apa
yang dilakukan Presiden terhadap kasus-kasus yang masuk ke SMS center tersebut.
Pencanangan Hari Pelanggan Nasional juga nyaris tidak berdampak signifikan
terhadap peningkatan kualitas layanan, terutama terhadap komoditas public
utilities yang disediakan oleh berbagai operator, seperti PDAM, PT Telkom, PT
PLN, dan PT Pertamina. Buktinya, setidak-tidaknya menurut Data Pengaduan
Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia, komoditas yang disediakan oleh ketiga
operator tersebut masih jeblok di mata konsumen. Layanan publik, seperti KTP,
SIM, STNK, paspor, akta tanah, akta kelahiran, IMB, juga belum ada kemajuan
yang berarti, terutama dari sisi perbaikan manajemen dan pengadministrasian.
Sebagai contoh, tidak sedikit anggota masyarakat yang bisa mengantongi lebih
dari satu kartu identitas yang bernama KTP. Ini menunjukkan kacaunya sistem
administrasi kependudukan, baik pada level daerah maupun nasional. Jangan heran
kalau para petualang jihad (kaum teroris) begitu at home di Indonesia karena di
negeri inilah mereka bisa beralih rupa dengan begitu mudahnya. Calo-calo di
seputar pengurusan SIM dan STNK juga masih leluasa bergentayangan di sekitar
lokasi. Mengurus SIM/STNK jika mau cepat, ya lewat biro jasa saja, begitu
kira-kira. Begitu juga dengan mengurus paspor. Kalau kita datang ke kantor
Imigrasi, pasti akan didekati oknum yang bisa mempercepat proses pengurusan.
Tentu dengan imbalan biaya berlipat-lipat. Bahkan Presiden Susilo beberapa
waktu lalu dibuat meradang dengan kinerja keimigrasian ini, yang justru menjadi
salah satu pemicu hengkangnya para calon investor yang akan datang ke
Indonesia. Otonomi daerah, yang semula diidealkan untuk efisiensi layanan
birokrasi, kini yang terjadi justru sebaliknya. Di berbagai tempat, otonomi
daerah justru menjadi sumber utama ketidakefisienan layanan birokrasi.
Konyolnya, sumber-sumber ketidakefisienan tersebut justru dilegalkan, misalnya
via perda, peraturan gubernur, atau aturan di bawahnya. Bahkan sering terjadi
berebut kaveling antara pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/pemerintah
kota, khususnya untuk komoditas basah, misalnya, izin trayek angkutan umum dan
pengujian KIR. Presiden Susilo, melalui Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara,
dalam waktu dekat ini juga akan meluncurkan RUU Layanan Publik. Saat ini
rancangan undang-undang tersebut sudah sampai di meja DPR, bahkan sedianya menjadi
salah satu rancangan undang-undang yang akan disahkan pada masa sidang 2005.
Secara substansi RUU Layanan Publik lumayan baik karena ingin mengikis habis
ketidakefisienan layanan birokrasi, yakni dengan membuat standar pelayanan,
seperti prosedur pelayanan, waktu pelayanan, biaya pelayanan, produk pelayanan,
sarana dan prasarana, kompetensi petugas pemberi pelayanan, pengawasan intern,
penanganan pengaduan, saran dan masukan, serta jaminan pelayanan (Pasal 17 RUU
Layanan Publik, Draf VIII). RUU Layanan Publik ini juga memberikan ruang yang
luas bagi masyarakat jika terjadi sengketa antara masyarakat dan pemberi
pelayanan publik, bahkan melalui akses gugatan publik, baik dengan cara class
action maupun legal standing (Pasal 40 RUU Layanan Publik, Draf VIII). Secara
regulasi, saat ini memang terjadi kekosongan hukum (vacuum of law) untuk
standardisasi layanan birokrasi. Sangat pantas jika di berbagai sektor praktek
layanan birokrasi berjalan bak tanpa arah. Regulasi yang ada hanya sebatas SK
Men-PAN Nomor KEP/26/M.PAN/2/2004 tentang Peningkatan Pelayanan Publik. Namun,
SK Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara ini seperti macan ompong saja, apalagi
di era otonomi daerah seperti sekarang ini. Kehadiran RUU Layanan Publik
sedikit-banyak memberikan angin segar bagi perubahan birokrasi kita. Namun,
lahirnya suatu produk hukum bukanlah jaminan akan terjadinya perubahan yang
cepat. Apalagi di negeri ini praktek law enforcement masih memble, dan semangat
kepatuhan terhadap produk hukum juga masih rendah. Sejatinya, perubahan
paradigma di tataran pelaksana birokrasi merupakan hal yang sangat mendesak.
Ideologi sebagai pangreh praja alias pegawai raja/pemerintah masih melekat erat
hingga saat ini. Seharusnya ideologi para state apparatus (baca: PNS!) adalah
pamomong masyarakat. Pantas, jika mereka justru minta dilayani oleh masyarakat,
bukan melayani masyarakat. Mereka harus berubah!
2.2
Birokrasi dan Otonmi Daerah
Penyelenggaraan
otonomi daerah dilaksanakan dengan memperhatikan aspek demokrasi, keadilan,
pemerataan dan potensi serta keanekaragaman daerah. Tujuan pemberian
otonomi kepada daerah berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah, adalah untuk memberikan kewenangan yang luas, nyata dan
bertanggung jawab secara proporsional yang diwujudkan dengan pengaturan,
pembagian dan pemanfaatan sumber daya serta tindakan nyata pelaksanaan
perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah, sehingga daerah dapat
mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri sesuai dengan potensi dan keanekaragaman
daerah.
Titik
berat otonomi daerah adalah pada daerah kota dan kabupaten, karena daerah itu
yang lebih langsung berhubungan dengan masyarakat. Makna “langsung berhubungan”
adalah akan mempercepat dan memperpendek jalur pelayanan pemerintah kepada
masyarakat. Di lapangan menunjukkan bahwa pelaksanaan otonomi daerah kurang
lebih telah berjalan delapan tahun, namun belum berjalan sebagaimana yang
diharapkan. Fenomena ini didasarkan hal-hal sebagai berikut : pertama masih
lemahnya sumber daya aparatur (birokrat) daerah dalam melaksanakan tugas-tugas
pemerintah baik yang bersifat rutin ( khususnya pelayanan kepada masyarakat)
maupun yang bersifat pembangunan. Pelaksanaan tugas rutin dan pembangunan tidak
boleh ditangguhkan apalagi dihentikan dengan alasan para birokrat pemerintah
daerah sedang dalam proses penyempurnaan ; kedua, dibidang kepegawaian masalah
yang dihadapi adalah simpang siurnya peraturan perundang-undangan yang mengatur
bidang kepegawaian khususnya dalam penyusunan struktur organisasi yang tidak
didasarkan pada suatu prinsip “the right man on the right place” dan meryd
system, tetapi lebih menonjol pada tatanan spoil system.
Oleh
karena itu, pelaksanaan otonomi daerah kalau dilihat dari sudut pandang fungsi
pemerintahan dan fungsi birokrasi harus berubah secara tegas dan jelas. Karena
filosofi otonomi daerah mengandung dua makna strategis, yaitu pertama,
entrepreneur (kewirausahaan). Entrepreneur merupakan wujud dari konsep
“Reinventing Government : yaitu mentransformasi semangat wirausaha ke dalam
sektor publik dan bukan mengkomersilkan jasa pemerintah kepada masyarakat”.
Kemudian, kedua intrapreneur (bentuk partisipasi masyarakat) yaitu dalam
merencanakan pembangunan, maka masyarakat harus dilibatkan mulai dari
perencanaan pembangunan yang dikenal dengan istilah “musyawarah perencanaan
pembangunan” dan selanjutnya masyarakat ikut dalam pelaksanaan pembangunan
sampai pada pengawasannya. Kedua Pendapat tersebut di atas dikemukakan oleh “
Osborn dan Gaebler”.
Pemberian
otonomi daerah akan mengubah perilaku pemerintah daerah untuk lebih efisien dan
profesional. Untuk meningkatkan efisiensi dan profesional, pemerintah daerah
perlu melakukan perekayasaan ulang terhadap birokrasi. Karena selama ini ada
kesan, ketika para birokrat dianggap tunduk secara kaku pada tata tertib untuk
menjamin keseragaman dan mencegah favoritisme maka lahirlah ketidakcakapan yang
terlatih.
Tujuan dilaksanakannya otonomi daerah adalah
dalam rangk meningkatkan pelayanan publik, dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat
melalui pemberian kewenangan yang lebih besar kepada daerah. Di sisi yang lain,
melalui pelaksanaan otonomi, pemerintah daerah diharapkan lebih kreatif dalam
mengembangkan potensi di daerahnya masing-masing sehingga mereka akan mampu
melakukan pembangunan daerah. Kesejahteraan rakyat sebagaimana hendak
diwujudkan melalui pelaksanaan otonomi ini hanya mungkin dapat dicapai jika
daerah mampu mengembangkan potensi yang mereka miliki sebagai modal utama untuk
melakukan pembangunan. Oleh karena itu, aparat pemerintah daerah harus kreatif
dalam mengembangkan setiap potensi yang mereka miliki sebagai usaha untuk
meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD).
Peningkatan
PAD ini dapat mereka peroleh melalui pengelolaan perusahaan daerah secara
efisien sehingga mampu menghasilkan keuntungan yang besar, pemanfaatan
sumber-sumber kekayaan alam, atau melalui pajak dan penarikan investasi ke
daerah sehingga akan memacu pertumbuhan ekonomi. Untuk menarik investasi ini,
pemerintah daerah harus mampu mengembangkan birokrasi yang efisien, tidak
korup, demokratis (dalam arti terdesentralisasi), dan ramah terhadap investasi.
Pemerintah daerah masa lampau lebih bersifat pasif, tidak akuntabel, kurang responsif,
dan tersentralisasikan oleh pusat, sehingga tidak lagi memadai untuk menjawab
tantangan yang muncul. Singkatnya, otonomi daerah yang hendak dilaksanakan diharapkan
akan memberikan manfaat yang besar terhadap daerah.
Di antara manfaat yang diharapkan adalah
sebagai berikut. Pertama, peningkatan efisiensi dan efektivitas
administrasi pemerintahan dan pembangunan di daerah. Kedua, terciptanya hubungan yang harmonis dan saling
membutuhkan antara pemerintah dengan masyarakat. Ketiga, mempertinggi daya serap aspirasi masyarakat
dalam program pembangunan. Keempat, terjadinya penanganan masalah secara terpusat dan tepat dari berbagai
permasalahan aktual yang berkembang dalam masyarakat. Kelima, mendorong munculnya partisipasi masyarakat dalam
pemerintahan dan pembangunan di daerah.7 Selanjutnya, agar otonomi daerah
mendapatkan manfaat seperti telah dijelaskan di awal, kita membutuhkan wajah
birokrasi yang baru, yang mampu bertindak sebagai kreator dan innovator dalam
pembangunan daerah. Hal ini karena wajah birokrasi yang lama tidak lagi memadai
untuk menopang otonomi daerah yang penuh
dengan tantangan, kompetisi, dan tentu saja kompleksitas permasalahan.
Sepanjang 2009-2010
kita menjalani dua jenis tahun politik: 2009 sebagai tahun politik nasional
(ditandai pemilu legislatif-pemilu presiden), lalu kini berganti ke 2010
sebagai tahun politik lokal (serangkaian pilkada di 246 daerah). Selama dua
tahun tersebut, sedikit-banyak “terganggu“ pula perhatian terhadap isu-isu lain
dalam agenda desentralisasi/otonomi.
Khusus di tahun 2010
ini, selain pilkada tadi, prioritas pemerintah pusat tampaknya masih sebatas
agenda instrumentalis: penataan pemekaran, penguatan propinsi, dst. Ihwal
pemekaran, 2010 menjadi tahun perbaikan manajemen kebijakan lewat penyusunan grand design dan evaluasi kinerja
daerah baru. Sementara terkait isu propinsi, pusat menargetkan selesainya
pengaturan (PP) peran propinsi yang selama ini menjadi biang disharmoni antar
level pemerintahan.
Pilihan fokus
tersebut sekaligus menunjukan masih macetnya desentralisasi di tataran elite.
Ini membuat otonomi kita cuma berisi urusan birokrasi/politisi, yang berisi
agenda instrumentalis. Di seberang lainnya, faedah nyata otonomi bagi hidup
rakyat masih serasa jauh panggang dari api. Hanya di sejumlah kecil daerah saja
rakyat dapat menikmati buah inovasi pelayanan publik dan peningkatan kinerja
ekonomi, sebagai hasil terobosan cerdas-berani Kepala Daerahnya.
Implikasi lebih
serius, macetnya desentralisasi tersebut mempersulit pergeseran fase transisi
ke konsolidasi desentralisasi saat ini. Esensi peralihan ini tentu tidak saja
diukur dari selesainya penyesuaian karakter regulasi ke arah desentralistik,
namun terutama pada beralihnya dominasi agenda instrumental-elitis menjadi
substantif-publik. Gagal menetapkan agenda yang relevan bisa membuat kita
senantiasa ada di zona transisi permanen, tak bergerak ke mana-mana (involusi).
Melihat latar
masalah seperti di atas, peluang kemajuan daerah dan otonomi 2010 ini terletak
pada tangan daerah itu sendiri. Bagi 7 Propinsi dan 239 Kab/Kota yang
menyelenggarakan pilkada, peluang itu memang agak sempit karena sekitar 6-9
bulan selama 2010 habis terpakai buat pilkada, lalu masa pembelajaran bagi
pasangan Kepda/Wakepda baru untuk menyusun program kerjanya.
Namun bagi daerah
lainnya, mestinya selalu ada kesempatan guna membuktikan kinerjanya. Sebab, dalam
hal penciptaan iklim bisnis/investasi, misalnya, upaya pemajuan sektor penting
tersebut pada tahun ini ditentukan oleh komitmen pemda guna menyapu bersih
segala sumbatan yang ada, dan terutama lagi adalah mempromosi berbagai praktik
inovatif yang relevan.
Ihwal peran faktor
inovasi ini, hasil survei IFC dan KPPOD “Doing
Business in Indonesia 2010“, menunjukan bahwa daerah yang
berkinerja terbaik dalam indikator memulai usaha dan melayani perijinan
(Yogyakarta) dan pendaftaran properti (Bandung) adalah dua kota yang relatif
berhasil membuat terobosan atas belitan struktural dalam tubuh pemerintahanya.
Mereka, antara lain, melakukan upaya debirokratisasi-deregulasi melalui
pembentukan pelayanan terpadu (PTSP).
Upaya inovasi
birokrasi usaha ini dilakukan dengan metode integrasi berbagai kewenangan
perijinan dan simplifikasi business
process sehingga urusan perijinan menjadi lebih mudah, cepat,
murah, jelas. Selain itu, dalam birokrasi sendiri, inovasi itu mendorong
efektivitas kordinasi antar SKPD, mencegah kecenderungan eksternalisasi urusan
internal birokrasi: investor menanggung resiko opportunity cost sebagai ekses kagagalan koordinasi
dalam birokrasi.
Temuan tadi, sekali
lagi, membuktikan inovasi sebagai kata kunci dalam perbaikan kinerja organisasi
publik di era desentralisasi. Bagi keperluan lokasi investasi yang tak saja
kondusif tapi juga kompetitif, misalnya, keberhasilan menyelesaikan sumbatan
adalah satu hal, sebagai tugas standar pemerintah mana pun. Namun yang lebih
dibutuhkan hari-hari ini adalah reformasi pada tingkat lanjut, di mana
efisiensi pelayanan dan iklim bisnis kompetitif jadi ukuran elementer.
Namun realitas
pahitnya di Indonesia, tak semua pemda menyadari arah perkembangan ini.
Karakter kepemimpinan Kepala Daerah memainkan peran dan tanggung jawab
maha-penting. Birokrasi tidak mungkin mereformasi dirinya, selain lantaran tak
berkewenangan melakukannya, juga justru merasa telah diuntungkan (vested interest) dalam situasi
lama. Sejauh ini, mesti diakui, sistem pilkadal belum terbukti menghasilkan
Kepala Daerah yang memenuhi kualifikasi karakter kepemimpinan yang berkomitmen
kuat bagi perubahan pelayanan publik.
Setelah sedekade
kita belajar dan bereksperimentasi dengan sistem baru desentralisasi (fase
transisi), seharusnya di fase konsolidasi ini mulai mengedepan aneka inovasi
signifikan (advance).
Sayangnya, cara pandang dan praktik pemerintahan masih mewarisi pola lama, di
mana birokrasi bekerja dalam kultur kekuasaan (power culture) dan berorientasi kepentinganya sendiri
ketimbang bergeser ke kultur pelayanan (service
culture) bagi masyarakat, termasuk dunia usaha.
Hari-hari ini para
pengamat otonomi boleh jadi gamang menerka rute baru pasca-transisi ini: apakah
menuju ke fase konsolidasi atau justru terjebak dalam lorong tiada ujung transisi,
bahkan melangkah mundur ke titik sentralisasi lantaran desakan rakyat yang tak
merasakan manfaat riil otonomi. Suatu nota keras bagi kita semua, terutama para
penyelenggara pemerintahan. Khusus di tahun 2010, bola berada di tangan pemda
sendiri.
2.3
Maslah – Masalah
Birokrasi Saat Ini
Inefisiensi,
Nepotisme, dan Korupsi
Banyak orang
beranggapan birokrasi sama dengan inefisiensi organisasi. Gejala-gejala atau
petunjuk adanya birokrasi antara lain seperti terlalu percaya kepada preseden,
kurang inisiatif, penundaan, banyak formulir, serta duplikasi usaha dan
departementalisme.Korupsi dan nepotisme biasanya terdapat pada setiap aktivitas
birokrasi dan kebanyakan terjadi di negara sedang berkembang karena memang
sedang giat-giatnya membangun.. Korupsi tidak begitu saja terjadi tapi pasti
ada penyebabnya seperti berlakunya kewajiban-kewajiban tradisional kepada
keluarga, faktor ekonomi, sifat demonstration effect, dan sebagainya sehingga
dampak korupsi jelas merugikan masyarakat dan pemerintah.
Besarnya
Aparat Birokrasi dan Luasnya Tugas Pemerintahan
Gejala
umum yang terjadi di negara sedang berkembang termasuk Indonesia adalah
besarnya aparatur birokrasi tetapi kurang memiliki keahlian yang memadai,
bekerja kurang produktif dan tidak efisien. Sebenarnya luasnya tugas birokrasi
pada pemerintah sebagai hal yang wajar, hanya perlu diimbangi dengan kemampuan
yang memadai dari aparatur birokrasi. Sektor swasta juga belum banyak berperan
dalam kegiatan pembangunan sehingga peran pemerintah lebih dominan.
BAGIAN
KETIGA : MASA DEPAN BIROKRASI
Bab.
III
Perubahan
Birokrasi
2. 1
Aspek – Aspek Reformasi Birokrasi
Reformasi birokrasi menjadi usaha mendesak
mengingat implikasinya yang begituluas bagi masyarakat dan negara. Perlu
usaha-usaha serius agar pembaharuan birokrasimenjadi lancar dan berkelanjutan.
Beberapa poin berikut ini adalah langkah-langkah yangperlu ditempuh untuk
menuju reformasi birokrasi.
Langkah
internal:
1. Meluruskan
orientasi
Reformasi
birokrasi harus berorientasi pada demokratisasi dan bukan pada kekuasaan.
Perubahan birokrasi harus mengarah pada amanah rakyat karena reformasi birokras
harus bermuara pada pelayanan masyarakat.
2. Memperkuat
komitmen
Tekad
birokrat untuk berubah harus ditumbuhkan. Ini prasyarat penting, karena tanpa
disertai tekad yang kuat dari birokrat untuk berubah maka reformasi birokrasi
akan menghadapi banyak kendala. Untuk memperkuat tekad perubahan di kalangan
birokrat perlu ada stimulus, seperti peningkatan kesejahteraan, tetapi pada
saat yang sama tidak memberikan ampun bagi mereka yang membuat kesalahan atau
bekerja tidak benar.
3. Membangun kultur
baru
Kultur
birokrasi kita begitu buruk, konotasi negatif seperti mekanisme dan
prosedurkerja berbelit -belit dan penyalahgunaan status perlu diubah. Sebagai
gantinya,dilakukan pembenahan kultur dan etika birokrasi dengan konsep
transparansi,melayani secara terbuka, serta jelas kode etiknya.
4.Rasionalisasi
Struktur
kelembagaan birokrasi cenderung gemuk dan tidak efisien. Rasionalisasi kelembagaan
dan personalia menjadi penting dilakukan agar birokrasi menjadi ramping dan
lincah dalam menyelesaikan permasalahan serta dalam menyesuaikan dengan
perubahan-perubahan yang terjadi di masyarakat, termasuk kemajuan teknologi
informasi.
5. Memperkuat payung
hukum
Upaya reformasi birokrasi perlu dilandasi dengan
aturan hukum yang jelas. Aturan hukum yang jelas bisa menjadi koridor dalam
menjalankan perubahan- perubahan .
6. Peningkatan
kualitas Sumber Daya Manusia
Semua
upaya reformasi birokrasi tidak akan memberikan hasil yang optimal tanpa disertai
sumber daya manusia yang handal dan profesional. Oleh karena itu untuk mendapatkan
sumber daya manusia (SDM) yang memadai diperlukan penataan dan sistem rekrutmen
kepegawaian, sistem penggajian, pelaksanaan pelatihan, dan peningkatan
kesejahteraan.
7. Reformasi
birokrasi dalam konteks pelaksanaan otonomi daerah perlu dilakukan:
a) Pelaksanaan
otonomi daerah menuntut pembagian sumber daya yang memadai. Karena selama ini
pendapatan keuangan negara ditarik ke pusat, sekarang sudah dimulai dan harus
terus dilakukan distribusi lokal. Karena terdapat kesenjangan dalam sumber daya
lokal, maka power
sharing mudah
dilakukan tapi reventtesharing
lebih
sulit dilakukan.
b) Untuk memenuhi otonomi, perlu kesiapan daerah untuk
diberdayakan, karena banyak urusan negara yang perlu diserahkan ke daerah.
Kecenderungan swasta berperan sebagai pemain utama, tentu memberi dampak
kompetisi berdasarkan profesionalitas.
Langkah
eksternal:
1. Komitmen dan
keteladanan elit politik
Reformasi
birokrasi merupakan pekerjaan besar karena menyangkut sistem besar negara yang
mengalami tradisi buruk untuk kurun yang cukup lama. Untuk memutus tradisi lama
dan menciptakan tatanan dan tradisi baru, perlu kepemimpinan yang kuat dan yang
patut diteladani. Kepemimpinan yang kuat berarti hadirnya pemimpinpemimpin yang
berani dan tegas dalam membuat keputusan. Sedangkan keteladanan adalah
keberanian memberikan contoh kepada bawahan dan masyarakat.
2. Pengawasan
masyarakat
Reformasi
birokrasi akan berdampak langsung pada masyarakat, karena peran birokrasi yang
utama adalah memberikan pelayanan kepada masyarakat. Pada tataran ini
masyarakat dapat dilibatkan untuk mengawasi kinerja birokrasi
2.2
Tantangn – Tantangan
Pelaksanaan Birokrasi Ideal
Teka-teki
politik menjadi sangat penting karena rakyat ingin segera tahu siapa saja yang
akan menjabat sebagai menteri baru yang akan bekerja untuk membawa perbaikan
bagi negara dan rakyat Indonesia dalam lima tahun mendatang. Harapan rakyat
adalah para pejabat tinggi tersebut perlu mempunyai kemampuan dan pengalaman
yang cukup di bidang yang menjadi tugas kementerian yang mereka pimpin sehingga
menteri - menteri tersebut berhasil dalam program-program mereka. Keberhasilan
menteri-menteri tersebut juga keberhasilan KIB II yang juga berarti
keberhasilan pemerintahan SBY. Namun, yang lebih penting bagi rakyat adalah
semakin membaiknya penyelenggaraan pemerintahan yang akan berdampak pada
membaiknya kehidupan rakyat. Karena Presiden SBY mempunyai hak prerogatif dalam
menentukan menteri-menteri, ketepatan SBY dalam memilih menterimenteri adalah
sangat penting.
Memang
banyak sekali pertimbangan yang harus diperhatikan SBY dalam memilih
menterinya, namun yang paling penting untuk membuat kabinet sukses adalah
kapabilitas para menteri. Karena itu, pengumuman kabinet mendapat perhatian
yang besar.Meskipun nama-nama calon menteri sudah diberitakan secara luas oleh
media massa sebelumnya, rakyat memerlukan kepastian siapa saja yang akan duduk
dalam kabinet tersebut. Yang tidak kalah pentingnya dalam teka-teki politik
tersebut adalah kemungkinan bergabungnya PDI Perjuangan (PDIP) ke dalam koalisi
pemerintah. Spekulasi ini berkembang luas di masyarakat karena pemberitaan
media massa yang intensif mengenai masalah ini. Di satu pihak ada beberapa
tokoh PDIP yang secara terangterangan menginginkan PDIP bergabung dengan
koalisi pemerintah.
Di pihak
lain Megawati tidak pernah setuju untuk bergabung dengan koalisi
pemerintah.Yang hebatnya lagi, banyak berita yang disampaikan oleh media massa
bahwa Presiden SBY sengaja memperpanjang waktu pemanggilan calon menteri dan
penundaan pengumuman kabinet baru karena menunggu sikap Megawati. Namun, sampai
detik terakhir tidak ada perubahan sikap Megawati sehingga kabinet baru
diumumkan tanpa memasukkan kader-kader PDIP ke dalam koalisi pemerintah.Susunan
KIB II menunjukkan bahwa pemerintahan SBY didukung oleh enam partai yang
bergabung dalam koalisi pemerintah. Koalisi ini menguasai 75,6% suara di DPR,
sedangkan partai-partai yang berada di luar koalisi pemerintah mempunyai kursi
DPR sebesar 24,4%. Hal ini komposisi yang cukup ideal di dalam sistem
presidensial karena ada partaipartai yang menjadi penyeimbang bagi koalisi
pemerintah di dalam DPR.
Rakyat
Indonesia patut berterima kasih kepada Ketua Umum PDIP Megawati karena sikapnya
yang mempertahankan PDIP sebagai partai penyeimbang terhadap koalisi
pemerintah. Partaipartai yang menjalankan peran oposisi tersebut mempunyai arti
yang amat penting dalam demokrasi. Bisa dikatakan bahwa tidak ada demokrasi
bila tidak ada partai oposisi. Dalam
lima tahun mendatang koalisi pemerintah diharapkan bisa lebih kompak, kebijakan
pemerintah tidak ditentang anggotaanggota DPR yang berasal dari koalisi
pemerintah. Hal ini hanya dapat tercapai bila setiap kebijakan pemerintah yang
akan diambil harus dibicarakan terlebih dulu oleh pimpinan partai yang
tergabung dalam koalisi. Dengan demikian, kebijakan pemerintah adalah hasil
kesepakatan semua partai yang tergabung dalam koalisi.
Debat
antara kader-kader partai yang tergabung dalam koalisi pemerintah bisa terjadi
di sini untuk mencapai keputusan terbaik yang bisa dijadikan kebijakan
pemerintah. Kesepakatan ini perlu diketahui oleh semua anggota DPR yang berasal
dari partai-partai koalisi tersebut sehingga dapat melaksanakannya dalam
rapat-rapat DPR. Arti penting koalisi dapat terlihat di sini. Anggota-anggota
DPR yang berada di luar koalisi pemerintah dituntut untuk mengkritisi
kebijakan-kebijakan pemerintah, sebaliknya anggota-anggota DPR yang berasal
dari koalisi pemerintah memberikan argumentasi yang masuk akal dari kebijakan
pemerintah.
Tentu
saja kedua belah pihak bertindak atas dasar kepentingan rakyat dan berdebat
tentang cara-cara yang paling baik dalam memajukan negara dan rakyat. Idealnya,
rapat-rapat di DPR bisa mencapai titik temu yakni kebijakan yang terbaik yang
didukung semua pihak. Namun bila tidak, voting terpaksa digunakan. Penunjukan
Gamawan Fauzi sebagai Menteri Dalam Negeri (Mendagri) adalah sebuah kejutan
karena untuk pertama kali sejak Orde Baru seorang pejabat sipil diangkat dalam
jabatan tersebut. Biasanya jabatan Mendagri disediakan bagi pejabat militer.
Penunjukan
Gamawan Fauzi sebagai menteri memang tidak terlalu mengejutkan karena dia telah
terlihat berperan besar pada waktu deklarasi pasangan SBY-Boediono di Bandung
sebelum Pemilihan Presiden (Pilpres) 2009. Mendagri Gamawan Fauzi menghadapi
tantanganbesaruntuk mengevaluasi pelaksanaan pemilihan umum kepala daerah
(pilkada) yang telah berlangsung selama empat tahun. Banyak sekali kritik dan masalah yang
dihasilkan oleh pelaksanaan pilkada. Di samping biaya yang besar dan politik
uang yang merajalela, pilkada juga menyita banyak waktu semua pihak padahal
sebagian kepala daerah yang dihasilkan oleh pilkada bukanlah kepala daerah yang
ideal untuk memimpin dan membawa rakyat ke arah kemakmuran.
Perlu
dipikirkan langkah-langkah perbaikan atau alternatif yang lebih baik. Terkait
erat dengan pilkada adalah status gubernur. Mendagri Gamawan Fauzi sudah lama
memikirkan masalah status gubernur ini karena beliau sendiri mengalami hal
tersebut. Otonomi daerah yang ditekankan pada kabupaten/ kota menyebabkan
peranan gubernur menjadi tidak jelas.Karena itu, gubernur sering kali diabaikan
oleh para bupati/wali kota karena tidak ada lagi hubungan hierarkis di antara
mereka. Status provinsi dalam era otonomi daerah sekarang ini juga perlu dikaji
secara lebih intensif oleh Mendagri Gamawan Fauzi.
Pada tataran
yang lebih pragmatis, bidang substansial reformasi administrasi di manapun yang
paling mendasar adalah keterkaitannya dengan out-put dan outcome ekonomi di
samping bidangbidang lain. Peningkatan kinerja pelayanan publik di semua lini
sektor pun adalah halyang utama. Untuk itu, pembenahan birokrasi harus
diintegrasikan dengan tujuan utama mengembang kan negara dengan memajukan
sektor ekonominya. Intinya, apa pun sektor yang dikembangkan SBYBoediono harus
terfokus pada leading sector. Pemilihan leading sector oleh SBY-Boediono
membutuhkan sekelompok pemikir yang menjadi prasyarat bagi keberhasilan
reformasi yang disebut sebagai think-tank.
Pengembangan
leading sector memerlukan indikator capaian, bahkan termasuk dimensi waktu yang
diinginkan. Dari sini kemudian dikaitkan dengan birokrasi yang akan mewujudkan
arah capaian dari leading sectortersebut. Terdapat tiga pola integrasi dengan
pembenahan birokrasi yang di-harapkan di sini. Pertamaadalah pembenahan
birokrasi yang terkait langsung mendukung keberhasilan leading sector.Kedua,
pembenahan birokrasi yang merupakan rangkaian tidak langsung mendukung leading
sector.Ketiga, pembenahan birokrasi instrumental yang harus dituntaskan segera
menyangkut pelayanan publik dasar.
Dari sini,
komunikasi antara presiden dan wakil presiden beserta para menterinya menjadi
penentu efektivitas dari integrasi pembenahan birokrasi RI dengan peningkatan
kinerja pemerintahan kabinet mendatang. Kita tunggu, apakah pemerintah
mendatang akan sejalan dengan visi keberhasilan mendongkrak leading sector?
Bab IV
Tantangan Birokrasi Masa Depan
4.1
Dampak Pengaruh Internal ( Dalam Negeri )
4.1.
1 Budaya Lokal
Sesungguhnya,
budaya lokal yang ada di Indonesia bisa menjadi aset pariwisata yang tak
ternilai harganya. Dari seni budaya sampai budaya keramahan yang tergambar pada
masyarakat Indonesia. Peluang masuknya
budaya asing ke Indonesia bisa menjadi ”kecelakaan” bagi masyarakat yang tidak
bisa menilai dan membedakan mana yang harus di ambil atau tidak.
Budaya
lokal senantiasa akan bertahan (lestari) apabila masyarakatnya tidak membiarkan
budaya (lokal)-nya itu tidak tertindas.Tantangan yang justru dihadapi adalah
sampai seberapa jauh kita mampu memadukan perubahan dengan kebudayaan itu?
Namun demikian, maksud utamanya adalah bukan dengan menolak kebudayaan global
yang sedang mendunia. Di sini dibutuhkan pemahaman dan pengertian kita untuk
menerjemahkan perubahan itu sehingga tidak menimbulkan distorsi bagi
kepribadian dan kebudayaan yang menggejala. Kekuatannya justru terletak pada
diri kita sendiri bahwa apa yang akan kita ambil dan maknai dari perubahan itu,
dan seberapa mampukah kita menerjemahkannya ke dalam kebudayaan kita.
Atribut-atribut
budaya lokal seolah-olah terancam akibat budaya global seperti masuknya
berbagai komoditas global, pengaruh dan tindakan yang dipancarluaskan oleh
berbagai media penyampai seperti TV dan media cetak lainnya. Dalam pada itu,
situasi dan kondisi dimana budaya lokal akan dipertaruhkan di tengah kancah
kebudayaan global, sepertinya melahirkan kontroversi dan paradigma yang berbeda
dalam memandang budaya global itu. Justru dengan begitu, kita dapat memaknai
bahwa perubahan itu akan senantiasa terjadi dan tanpa kita sadari akan meresapi
diri kita dan masuk ke dalam pola perilaku dan tindakan kita. Oleh karenanya,
kebudayaan akan semakin mantap, bertahan dan lestari. Adakah kita berupaya
memajukan kebudayaan kita itu, atau malah membiarkan budaya kita itu terlindas
oleh budaya global? Dan sampai sejauh manakah pengakuan kita terhadap
kebudayaan kita itu? Oleh karenanya, penting dilakukan kembali kaji ulang
terhadap kepribadian kita yakni bukan secara langsung melontarkan bahwa
kebudayaan kita itu adalah tidak maju, tidak modern dan miskin dan terbelakang.
Jika demikian yang terjadi maka kebudayaan kita itu akan mengalami pendangkalan
makna akibat erosi pemerkayaan dan pemajuan budaya local itu.
Kearifan nilai-nilai sosial budaya lokal dalam aspek kegotongroyongan dan keswadayaan
patut didayagunakan, dilestarikan, dan dikembangkan. Untuk Apa? Agar menjadi
potensi efektif dalam pelaksanaan pemberdayaan masyarakat.
4.1. 2 Perubahan
Poltik
Politik
Indonesia masa depan ditentukan tidak oleh satu kekuatan politik saja (partai
politik), tapi interaksi antarkekuatan politik yang ada. Dalam proses kebijakan
politik formal, memang, militer tidak punya keterlibatan langsung, tetapi ia
masih bisa memengaruhi jalannya politik lokal maupun nasional. Apalagi bila
ternyata kalangan politikus sipil lemah dan kontraproduktif satu sama lain. Di
masa transisi, tatkala eksperimentasi politik sipil mengedepan, peran militer
yang dulu merambah ke wilayah politik direduksi sedemikian rupa. Namun, apabila
eksperimentasi itu gagal, padahal soliditas militer tetap terjaga maka tidak
menutup kemungkinan militer akan kembali
memainkan pengaruhnya di wilayah politik.
memainkan pengaruhnya di wilayah politik.
4.1.
3 Perkembangan Penduduk
Jumlah
penduduk pada suatu negara selalu mengalami perubahan yang disebabkan oleh
faktor kelahiran, kematian dan migrasi atau perpindahan penduduk. Perubahan
keadaan penduduk tersebut dinamakan dinamika penduduk. Dinamika atau perubahan
penduduk cenderung kepada pertumbuhan. Pertumbuhan penduduk ialah perkembangan
jumlah penduduk suatu daerah atau negara. Jumlah penduduk suatu negara dapat
diketahui melalui sensus, registrasi dan survei penduduk. Jumlah penduduk
Indonesia sejak sensus pertama sampai dengan sensus terakhir jumlahnya terus
bertambah. Sensus pertama dilaksanakan pada tahun 1930 oleh pemerintah Hindia
Belanda. Sedangkan sensus yang pernah dilakukan oleh pemerintah Indonesia
adalah pada tahun 1961, 1971, 1980, 1990 dan yang terakhir 2000. Sensus di
Indonesia dilaksanakan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) dan waktu pelaksanaan
sensus di Indonesia diadakan sepuluh tahun sekali.
Masyarakat
yang kuat terus-menerus memperbaiki diri. Masyarakat demikian cenderung
memelihara kepekaan dalam mengenali dirinya, pertama sebagai pencapaian,
setelah itu sebagai sisa-sisa masa lalu yang harus diperbaiki dan akhirnya,
sebagai hasil evaluasi terhadap pencapaian masa lalu beserta hasil penolakan
terhadapnya, dalam kesadaran yang lebih tinggi tingkatnya. Beberapa faktor
menguatkan kelompok masyarakat termasuk norma-norma dan adat istiadat, beberapa
lagi membongkarnya termasuk harapan untuk melakukan perbaikan. Ada proses
perubahan yang terjadi secara kebetulan, tetapi suatu rencana perubahan dapat
dibuat dengan sengaja oleh para pejuang atau penyelenggara perubahan. Di pihak
yang lain adat istiadat dan norma-norma dapat masuk dalam jajaran penghambat
perubahan, sedangkan cita-cita, harapan dan rencana ke depan menjadi perangsang
untuk mempercepatnya. Ancaman serta pengaruh dari luar dapat pula menghambat
atau memperlancar suatu perubahan. Kemudian suatu tindakan selalu didahului
oleh putusan strategis yang telah masak dipertimbangkan sebelumnya. Tindakan
strategis agaknya menjadi jalan keluar evolusioner dalam kemapanan suatu
masyaraka
4.1. 4 Perubahan
Tingkat Pendidikan
Kinerja
tenaga kependidikan di lingkungan pemerintah daerah masih banyak mengecewakan
stake holders, antara lain karena masih rendahnya kualitas layanan yang mereka
berikan.untuk memperbaikinya, perlu dilakukan
reformasi birokrasi pendidikan. Beberapa aspek yang perlu direformasi yaitu :
1.
Reformasi motivasi :
dari asal kerja menjadi ibadah dan amanah.
2.
Reformasi pemimpin :
dari pejabat menjadi kaum profesional.
3.
Reformasi paradigma :
dari dilayani menjadi melayani.
4.
Reformasi pengelolaan
: dari birokrasi menjadi ’korporasi’ profesional.
5.
Reformasi hasil kerja
: dari asal selesai menjadi orientasi mutu.
6.
Reformasi pelayanan :
dari dipersulit menjadi dipermudah dan memuaskan.
7.
Reformasi cara kerja
: dari lambat menjadi disiplin, cepat dan segera.
8.
Reformasi budaya
kerja : dari ‘saling bersaing negatif’ menjadi sinergis.
9.
Reformasi pelaporan :
dari semu menjadi jujur, transparan dan akuntabel.
10.
Reformasi tampilan :
dari tidak ramah menjadi ramah dan menyenangkan.
Akhirnya hakikat
administrasi pendidikan sebagai tata kelola yang amanah (a good educational
governance) dapat berjalan. Kinerja yang dikategorikan Good Governance
dilakukan berdasarkan prinsip-prinsip berikut :
1.
Akuntabilitas
(accountability) : kewajiban untuk
memberikan pertanggungjawaban atau menjawab dan menerangkan kinerja dan
tindakan seseorang/pimpinan atau suatu unit organisasi kepada pihak yang
memiliki hak atau berwenang meminta pertanggugjawaban. Meliputi akuntabilitas
publik, politik, keuangan, hukum, dan sebagainya.
2.
Transparansi
(transparancy) : Transparansi sama
dengan polos, apa adanya, tidak bohong, tidak curang, jujur, dan terbuka
terhadap publik tentang apa yang dikerjakan.
3. Keterbukaan
(openess) : pemberian informasi secara terbuka,
terbuka untuk open free suggestion, dan terbuka terhadap kritik sebagai
partisipasi untuk perbaikan.
4. Aturan
Hukum (Rule of Law) : keputusan, kebijakan
dilakukan berdasar hukum (peraturan yang sah).
5.
Fairness (keadilan) :
adanya jaminan perlakuan yang
adil/perlakuan kesetaraan kepada masyarakat dalam pelayanan publik dan tidak
ada perlakukan yang melanggar HAM.
6. Partisipasi
(partisipation) : setiap warga negara
berpartisipasi dalam pengambilan keputusan, baik secara langsung maupun melalui
institusi yang mewakili kepentingannya.
7. Responsif
: responsif dan cepat tanggap terhadap
aspirasi masyarakat.
8. Berorientasi
kesepakatan (consessus orientation) : perantara
kepentingan yang berbeda untuk mendapatkan pilihan terbaik bagi kepentingan
yang lebih luas dalam hal kebijakan maupun prosedur kerja.
9.
Efektif dan efisien :
menghasilkan sesuai dengan apa yang
telah digariskan dengan menggunakan sumber-sumber yang tersedia dengan hasilnya
yang sebaik mungkin
10.
Visi strategis
(Strategic vision) : mempunyai perspektif
good governance dan pengembangan sumber daya manusia yang luas dan jauh ke
depan sejalan dengan apa yang diperlukan untuk pembangunan.
4.1.
5 Perubahan atau Kecenderungan Ekonomi
Indonesia
harus membangun birokrasinya terlebih dahulu sebelum pembangunan ekonomi dan
politik, karena birokrasi merupakan kekuatan utama untuk melaksanakan
pembangunan-pembangunan lainnya. Dalam upaya membangun birokrasi Indonesia yang
modern, acuan yang digunakan adalah model birokrasi legal-rasional. Namun dalam
pembangunan selanjutnya, tipe birokrasi legal-rasional yang dihasilkan berbeda
dengan apa yang dikonsepsikan Weber, karena masuknya unsur-unsur birokrasi
tradisional-patrimonial. Pengaruh sejarah dan kondisi sosial budaya masyarakat
Indonesia ternyata menghasilkan corak birokrasi yang khas Indonesia, di mana
unsur-unsur tradisional, modern dan kepentingan-kepentingan politik praktis
membaur di dalamnya.
Birokrasi
pada masa Orde Baru memainkan peranan yang sangat sentral dalam proses
pembangunan ekonomi sehingga terkesan “meninggalkan” unsur-unsur lain yang
seharusnya terlibat dalam setiap tahap pembangunan. Karena dominannya peran
birokrasi maka partisipasi masyarakat terasa kurang berakar atau menjadi
“pelengkap” saja dari kiprah birokrasi dalam pembangunan, dan segala sesuatunya
terkesan birokratis (lamban, kaku, tertutup). Sehubungan dengan itu maka
desakan untuk semakin mengupayakan debirokratisasi, deregulasi politik dan demokrasi
ekonomi semakin kuat.
4.2 Dampak Pengaruh
Eksternal
4.2.
1 Teknologi Informasi
Beberapa tahun terakhir ini kita
menyaksikan tanda-tanda awal hadirnya era informasi. Suatu era yang oleh
sebagian futurist dianggap sebagai
hasil dari revolusi teknologi gelombang ketiga, yang mentransformasikan
masyarakat industri menjadi masyarakat informasi. Transformasi gelombang ketiga
ini dimotori oleh teknologi informasi.
Serupa dengan peran mesin uap pada
revolusi industri 200 tahun yang lalu, saat ini teknologi informasi telah
menunjukkan kontribusinya pada banyak aspek kehidupan. Dalam dunia manufaktur,
teknologi informasi memungkinkan pabrik-pabrik menghasilkan berbagai produk
kebutuhan manusia secara lebih efisien. Di lain pihak, dalam dunia perbankan,
sulit dibayangkan sebuah bank yang beroperasi tanpa bantuan teknologi informasi
untuk pengelolaan sistem informasi nasabahnya.
Seperti yang terjadi pada revolusi
industri, ketika masyarakat agraris bertransformasi menjadi masyarakat
industri, transformasi kali ini juga akan menyebabkan terjadinya perubahan pada
banyak aktivitas manusia. Pengaruh ini, cepat atau lambat, pasti akan kita
rasakan sebagai suatu konsekuensi logis dari pilihan yang kita ambil untuk
membuka diri terhadap masyarakat global. Walaupun demikian investasi untuk
menerapkan dan memanfaatkannya harus dilakukan secara bijaksana, sehingga
sumber daya yang terbatas tidak dialokasikan secara sia-sia dan membabi buta,
serta sejauh mungkin meredam dampak negatif, sambil menuai dampak positif
sebesar-besarnya.
Mungkin Indonesia merupakan salah satu
dari sedikit negara di dunia ini yang tidak atau belum memiliki strategi
nasional dalam teknologi informasi. Bahkan Departemen yang mengurusi
telekomunikasi, infrastruktur utama teknologi informasi, menjadi rancu
posisinya dalam struktur kabinet yang sekarang. Membiarkan teknologi
telekomunikasi dan informasi, yang nilai bisnisnya miliaran dolar, berkembang
tanpa arahan nasional dapat menimbulkan banyak konsekuensi negatif di kemudian
hari.
Dalam makalah ini kami akan menguraikan peran positif yang
seyogyanya diambil dari pemanfaatan teknologi informasi dalam menunjang
perekonomian Indonesia menuju ke ekonomi global di abad ke-21.
berikut
ini direkomendasikan beberapa kebijaksanaan yang dapat diambil dalam jangka
pendek.
1.
Jalur komunikasi
antara pemerintah dengan masyarakat yang dilayani hendaknya diperpendek, bahkan
apabila mungkin langsung dari masyarakat kepada eselon I atau II. Perubahan
struktur birokrasi menjadi lebih flat
dapat dilakukan apabila aspek pelayanan sejauh mungkin diotomasi. Anggaran yang
dapat dihemat karena perubahan ini dapat direalokasikan untuk membiayai “social safety net” yang dibutuhkan
akibat tidak dapat dipekerjakannya sebagian petugas lama.
2.
Penyusunan
kebijaksanaan dan regulasi dalam telekomunikasi, informasi, dan komputasi,
diarahkan untuk mendorong terbukanya akses pasar untuk produsen domestik.
Sedangkan jalur komunikasi dari produsen global ke konsumen domestik hendaknya
memperoleh disinsentif, misalnya melalui diferensiasi harga, pajak, dsb.
3.
Pemerintah, melalui
perguruan-perguruan tinggi, mendorong tumbuhnya wirausahawan muda. Misalnya
dengan menyediakan “venture capital”
untuk pengembangan inkubator bisnis dan teknologi di lingkungan perguruan
tinggi. Produk yang dihasilkan melalui inkubator ini hendaknya berorientasi ke
pasar global, atau setidak-tidaknya mampu bersaing dengan produk impor tanpa
proteksi pada pasar domestik.
4.2. 2 Politik
Ekonomi Global ( Perdagangan Bebas )
DI
tengah gempuran hebat produk China ke Tanah
Air, Indonesia menegaskan tetap ikut memenuhi komitmen terlibat dalam
Perjanjian Perdagangan Bebas ASEAN dan China mulai 1 Januari 2010. Itu berarti
hanya dalam waktu sepuluh hari lagi, pasar kita bakal kian dikepung oleh produk
China, baik tekstil, buah-buahan, bumbu masak, maupun mainan anak-anak. Lalu,
apa salahnya dengan produk China? Di sinilah persoalannya. Sudah bukan rahasia
lagi, selama ini mutu produk China yang membanjiri pasar kita tidak jauh
berbeda dengan produk dalam negeri, bahkan lebih buruk.
Produk
China juga masih diragukan keamanannya bagi kesehatan. Selain itu, barang dari
'Negeri Tirai Bambu' itu kelewat murah sehingga produk dalam negeri kalah bersaing
dan akhirnya mati. Saat ini hampir semua jenis produk China melenggang bebas
masuk ke negeri ini. Padahal, pada era 1970-an produk China yang diimpor hanya
produk yang tidak bisa dibuat di Indonesia. Dengan demikian, perjanjian
perdagangan bebas ASEAN-China amat jelas bakal lebih menguntungkan China daripada
negara-negara ASEAN, dan sangat jelas terutama sangat merugikan Indonesia. Data
resmi dari Badan Pusat Statistik menunjukkan saat ini saja ekspor kita ke China
hanya 5,91%, sedangkan impornya mencapai 8,55%. Kelak, ketika perdagangan bebas
sudah dijalankan, diprediksi ekspor kita hanya naik 2,29% menjadi 8,20%. Tapi,
sebaliknya impor kita dari China bakal naik 2,81% menjadi 11,37%.
Merebaknya
pesimisme itu lebih disebabkan belum mantapnya industri dalam negeri. Industri
kita masih dibebani rupa-rupa masalah yang menyebabkan daya saing kita rendah. Infrastruktur
yang buruk, suku bunga bank yang masih tinggi, kurs rupiah yang tidak stabil,
serta birokrasi yang berbelit-belit dan korup, semua itu menyebabkan produk
Indonesia tidak bisa berbicara banyak. Kita tidak punya basis yang kuat masuk
ke pasar China. Kita juga tidak punya daya tahan yang hebat untuk membendung
serbuan produk China. Sejujurnya Indonesia memaksakan diri masuk implementasi
perdagangan bebas ASEAN-China.
4.2. 3 Perubahan
Iklim
Birokrasi Ramah Lingkungan
Di
tingkat negara, fenomena akan perubahan sosial juga terjadi. Dimana yang
berperan besar dalam kampanye perubahan iklim tidak hanya masyarakat serta
aktivis lingkungan, namun kini juga melibatkan pemerintah.Hal ini menanda dimana
birokrasi kini telah berubah dari penghambat dukungan
terhadap
isu-isu lingkungan menjadi alat untuk mengkampanyekan lingkungan. Walaupun
kadang dalam permasalahan lingkungan lain – diluar perubahan iklim –birokrasi
tetap saja menyulitkan. Hal ini ditandai dengan giatnya pemerintahan tingkat
eksekutif dan mulai terbentuknya komitmen akan penyelesaian setiap permasalahan
lingkungan. Walaupun kadang masih menemukan pertentangan dengan beberapa
organisasi lingkungan yang masih menganggap bahwa pemerintahan secara umum –
khususnya negara-negara maju masih ragu dalam menentukan batasan teknis.Biar
bagaimanapun, perubahan yang evolutif ini harus dijaga keberlangsungannya untuk
perbaikan sistem pengelolaan alam secara global. Saya rasa tidak sulit untuk terus mengingatkan pemerintahan, dimanapun
di seluruh dunia.
Demi
menjaga komitmen yang mulai tumbuh. mengingat isu perubahan iklim yang bersifat
menyeluruh, pihak-pihak yang bersebrangan pun akan mudah untuk melibatkan diri
didalamnya. Dengan harapan di masa depan, isu mengenai lingkungan akan terus
dikategorikan sebagai permasalahan yang penting untuk di bicarakan secara lebih
terkonsentrasi dibanding sebelumnya di tingkat internasional.
Sama
seperti sebelumnya, pengaruh ini juga tidak bisa terjadi kalau bukan karena
konsistensi pergerakan aktivis lingkungan yang terus berkembang dari waktu ke
waktu.
Iklim
Berubah, Manusia Juga Berubah
Perlu
kita ingat bahwa pada dekade sebelumnya, masalah mengenai pengelolaan
lingkungan belum menjadi masalah yang benar-benar diperhatikan oleh masyarakat
global. Walaupun pada dekade 1980-an kampanye mengenai lingkungan juga marak,
namun konteks penyebabnya jelas berbeda dengan yang sekarang. Dimana dahulu
kondisi perang Vietnam dan perang dingin yang memaksa perlombaan senjata—terutama
nuklir—yang menjadi penyebab, maka kini yang menjadi penyebab adalah akumulasi
semua ketidaktepatan pengelolaan lingkungan yang ditandai dengan terjadinya
beberapa fenomena lingkungan yang tidak biasa. Serta tidak sesuai dengan apa
yang kita pahami tentang lingkungan sebelumnya.
Beberapa
sosiolog bermahzab geografi dan ekologi, termasuk E. Huntington menjelaskan
dalam bukunya Civilization and Climate[4], bahwa iklim walaupun termasuk faktor
statis, juga mempengaruhi manusia, bukan hanya pada soal distribusi kewilayahan
dimana terjadi klasifikasi daerah iklim, namun juga dalam hal sosial
kemasyarakatan bahkan kebudayaan. Melalui pendapatnya, dapat disimpulkan bahwa
kondisi masyarakat secara umum memiliki keterkaitan dan hubungan dengan iklim
yang ada. Tanpa disadari, kini bukan hanya iklim yang telah berubah, manusia
juga mengalami perubahan. Mulai dari konsepsi sosial mengenai lingkungan itu
sendiri, serta kebiasaan sosial yang mulai mengalami pergantian.Sekali lagi,
ini juga dimungkinkan dengan adanya konsistensi yang serius dari aktivis
lingkungan yang telah membentuk pergerakan sebelumnya.
Isu
Pemersatu yang Efektif
Seperti
teori sebelumnya yang menyatakan bahwa perubahan iklim tidak hanya merubah
keadaan alam disekitar kita, namun juga kondisi kemanusiaan secara sosial
kemasyarakatan. Mengacu pada hal tersebut maka perubahan iklim juga perlu
dimaknai sebagai sebuah momentum sosial. Momentum sosial akan terjadinya
persatuan semua golongan yang berbeda. Apapun diferensiasi etnisnya ataupun stratifikasi
profesinya. Hal ini dikarenakan fungsi-fungsi isu perubahan yang begitu efektif
di tingkat internasional. Seperti fungsi isu sebagai interseksi penghilang
batasan ideologis serta bentuk permasalahannya yang umum, mampu menarik
beberapa pihak yang berbeda latar belakang –sosial, budaya, dan ekonomi – untuk
bergabung membentuk sikap yang sama.
Dalam
konteks lokal, Indonesia merupakan sebuah negara dengan sifat yang begitu
multikultur dan sangat rentan akan perpecahan, juga membutuhkan isu pemersatu.Maka
isu mengenai perubahan iklim ini, dapat dijadikan sebagai sebuah momentum
persatuan bangsa sekaligus memacu kebangkitan generasi kepemudaan yang ada.Seperti
pergerakan aktivis kepemudaan lintasnegara di bidang lingkungan yang juga
berkembang pesat.
Perubahan
Iklim, Sebuah Momentum Kebangkitan
Perlu
diingat, bahwa posisi Indonesia dalam konvensi tentang isu lingkungan ini cukup
sentral dan penting. Dimana secara ekologis, Indonesia serta Brazil dianggap
sebagai beberapa negara yang mampu menjadi ‘aktor’ penyelamat dalam isu
lingkungan yang ada.Berdasarkan bekal pengetahuan dan keadaan ekologis yang
memadai, seharusnya pemerintahan Indonesia kini harus memperbaiki seluruh
tindak pengelolaan dan kebijakan pengawasan lingkungan. Agar Indonesia mampu secara
benar, mendukung dan dapat memberi contoh berkaitan resolusi perubahan iklim
yang terjadi saat ini.
Walau
mungkin tidak akan berdampak besar, karena mengingat posisi Indonesia yang
lemah akhir-akhir ini akibat isu terorisme, yang jelas tindakan reformasi
kebijakan lingkungan ini mungkin dapat memberikan inspirasi kepada
negara-negara lainnya. Hal ini dimungkinkan, jika saja pemerintahan Indonesia
dengan efektif mampu menerjemahkan isu perubahan iklim yang terjadi di tingkat
global ke tingkat nasional atau bahkan daerah.Dengan begitu Indonesia dapat
bergerak secara multilinial. Akhir kata, pemerintahan serta masyarakat
Indonesia – khususnya pemuda – juga harus memantapkan posisinya di mata
internasional melalui sumbangan ide dan kampanye efektif terhadap isu perubahan
iklim ini.
Dengan
modal pengetahuan yang cukup matang dan kondisi ekologis yang sangat
menguntungkan, maka tidak sulit jika kemudian Indonesia bisa menjadi negara
pelopor sekaligus pemimpin perserikatan negara-negara dalam menghadapi isu perubahan
iklim dimasa yang akan datang. Mungkin agak oportunis dan narsistis, namun jika
kita bicara tentang lingkungan.Sudah sepatutnya Indonesia bangkit bersatu
melepas identitas politis dan ekonomi di internal negara, lalu mengambil bagian
di kancah internasional. Karena isu perubahan iklim adalah sebuah momentum
kebangkitan. Kebangkitan Indonesia raya.
Bab
V
PENUTUP
Walaupun sudah banyak inisiatif yang diarahkan untuk
melakukan reformasi, fakta empiris menunjukkan hasilnya tidak selamanya
menggembirakan. Untuk konteks
Indonesia, reformasi administrasi publik nampaknya tidak lebih dari sekedar ‘a passing fad’. Tema tersebut pernah
menjadi begitu sentral, dikonsumsi oleh hampir semua kalangan, disuarakan di
berbagai fora, dijadikan lahan mobilisasi dukungan massa dan agenda politik,
dan akhirnya hilang tak berbekas. Mengapa hal itu terjadi? Persoalannnya
terletak pada kesalahan manajemen momentum reformasi. Jauh dari upaya yang
sistematis dan terencana, reformasi di tanah air lebih merupakan desakan
sesaat. Reformasi juga lebih merupakan kreasi elitis yang tidak memiliki basis
dukungan massa dalam arti yang sesungguhnya. Selain itu, sebagaimana dialami
negara lain, reformasi adalah persoalan kompleks dengan sejumlah hambatan yang
harus dihadapinya. Hambatan tersebut terutama disebabkan oleh keengganan untuk
melakukan perubaha
Terlepas dari sindrom tersebut, reformasi tetap harus
dilakukan mengingat bobroknya sistem dan struktur administrasi publik. Dengan
lokus dan fokus yang begitu luas, reformasi perlu dipersiapkan dan djalankan
secara hati-hati. Reformasi juga hanya bisa dijalankan dengan menginkorporasi
sejumlah strategi yang pada intinya harus melibatkan semua stakeholders, mulai dari birokrasi hingga masyarakat secara umum.
Karenanya, kolegialitas hendaknya ditempatkan pada pusat lingkaran konsentrik
reformasi.
Sangat disadari bahwa upaya melakukan reformasi sangat dilematis,
kompleks, mahal, dan sulit. Namun tetap ada optimisme untuk menjadikan
reformasi sebagai agenda publik yang dirumuskan secara demokratis dan
dijalankan secara partisipatif.
Harap dicatat bahwa biaya yang
harus ditanggung akibat kegagalan reformasi seringkali jauh melampaui biaya
akibat absennya reformasi! Karenanya dibutuhkan perencanaan yang matang lengkap dengan sumber daya serta strategi implementasiny
DAFTAR
PUSTAKA
1.
Robert Endi Jaweng
Jakarta,Otonomi Daerah 2010 dan Inovasi Birokrasi,Harian
KONTAN, 2010.
2. Eko
B. Sulistio, pengantar birokrasi, www. Google. Com, 2009.
3. Perubahan
iklim sebuah momentum kebijakan, www. Google. Com,2010.
4. Revormasi
pendidikan, www. Google.com, 2010
5. Fauziah
rasad, birokrasi bukan hanya renumerasi, www.google.
Com, 2010
6.
Prof.
Dr. Maswadi Rauf , MA, tantangan cabinet baru, Seputar
Indonesia, 22 Oktober 2009
7. “Pelaksanaan
demokrasi di indonesia.” Http://www.edupkn.smansarbg.com/ pelakdemo.html
8. “Mengawal demokrasi. ” Http://www.goodgovernance-bappenas.go.id/archive_
wacana/kliping_wawasan/klip_wsn_2006/wawasan_179.htm
9. “rwan prayitno. “Perkembangan dmokrasi di
indonesia: Cabaran dan Pengharapan.” Http://www.pas.org.my/kertaskerja/perkembangan_demokrasi_di_indonesia_cabaran_dan_pengharapan.pdf
10. “Implementasi demokrasi ekonomi di
indonesia.” Http://www.damandiri.or.id/file/
buku/subiaktobukukoperasibab1.pdf
11. “Pelaksanaan demokrasi di indonesia dalam
berbagai kurun waktu.” Http://www.e-dukasi.net/mol/mo_full.php?moid=18&fname=ppkn106_04.htm
12. “Hak - Hak Warga Negara Indonesia.” Http://www.e-dukasi.net/mol/mo_full.php?moid=21&fname=ppkn203_03.htm
13. Sayfa
Auliya Achidsti,“ Birokrasi dalam
Konstruksi Sosial Budaya dan Mental Priyayi (Dinamika Administrasi Publik
Indonesia )”,Penerbit Andi, 2009
14. Aditia Eka Permana, Birokrasi Pemerintahan Dengan Hubungan
Profesionalisme Kualitas Pelayanan Publik,Posted December 27th,
2008, www.google.
com
18. “Pelaksanaan demokrasi di indonesia.”
Http://www.edupkn.smansarbg.com/ pelakdemo.html
|
RIWAYAT HIDUP SINGKAT
Nama : Wisda
Alamat : Jln. S. Alauddin lorong 3 no. 26B
T T L : Lindu, 18 april 1988
No. HP : 085299363739
Pendidikan : 1. SD. Inp. 01 aralle ( 1994 – 1995 )
2.SD.
Inp. Lompengang ( 1995 – 2000 )
2.
SMP.
Neg. 1 Tanete Rilau ( 2000 – 2003 )
3.
SMA.
Neg. 1 Barru ( 2003 – 2006 )
4.
Univ.
Muhammadiyah Makassar (2006 – 2010 )
Email : bachtiarbikkok@yahoo.co.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar